Perempuan di Desa Ini Tak Boleh Pakai Ponsel
- Pexels/jeshoots
VIVA.co.id – Sebuah desa di India telah melarang perempuan menggunakan telepon genggam di depan umum. Mereka yang melanggar akan dikenakan denda dalam jumlah besar.
Tetua desa Madora, sebuah desa di negara bagian Uttar Pradesh, dengan penduduk mayoritas konservatif memutuskan bahwa perempuan yang menggunakan ponsel di luar rumah mereka akan didenda 21.000 rupee atau sekitar Rp450 ribu.
Untuk ukuran warga India, jumlah ini sangat besar. Dibutuhkan waktu beberapa bulan bagi warga desa untuk mendapatkan uang sebanyak itu.
Keputusan tersebut dikeluarkan pada Selasa, 2 Mei 2017, oleh para tetua atau Dewan Desa informal, yang biasa disebut Khap Phancayat. Dewan Desa ini percaya bahwa telepon seluler membantu perempuan yang belum menikah untuk kawin lari.
Larangan tersebut akan membatasi interaksi mereka dengan pria. Dewan Desa juga menganggap, seorang perempuan yang sudah menikah tak pantas berinteraksi dengan pria lain.
Tapi, tindakan itu tak diizinkan oleh kepolisian. "Kami telah menerima laporan tentang Khap yang memerintahkan pelarangan perempuan menggunakan telepon genggam," kata kepala polisi setempat Arun Kumar Sing, seperti dikutip dari Arab News, Kamis 3 Mei 2017.
"Perintah seperti itu bertentangan dengan konstitusi dan kami akan mengambil tindakan," dia menambahkan.
Sebelumnya, Khap Phancayat juga mengenakan aturan denda pada orang-orang yang berhasil menangkap pembunuh sapi atau menyelundupkan minuman keras. "Kami mendukung tindakan mereka terhadap kegiatan ilegal, namun tidak mengizinkan mereka mengekang kebebasan perempuan," kata Singh.
Khap Panchayat kebanyakan dijalankan oleh sesepuh desa berjenis kelamin laki-laki. Meski ilegal, mereka memiliki pengaruh yang cukup besar di pedesaan utara India. Mereka dikenal karena menerbitkan aturan yang bertujuan untuk menegakkan tradisi konservatif sosial, dan menolak modernisasi, salah satunya melarang perempuan mengenakan celana jins.
Tapi, mereka juga dipersalahkan karena memerintahkan kejahatan berat, termasuk mengizinkan pemukulan massal bahkan pembunuhan terhadap pasangan beda kasta atau beda agama yang menikah. Mereka menyebutnya sebagai "pembunuhan demi kehormatan."