Lawan Islamofobia, Presiden Austria Minta Perempuan Berhijab
- Reuters/Hannibal.
VIVA.co.id – Presiden Austria, Alexander Van der Bellen, meminta semua perempuan memakai jilbab. Upaya itu sebagai bentuk solidaritas terhadap umat Islam sekaligus melawan Islamofobia yang tengah merajalela.
"Dan bukan hanya perempuan Muslim, semua perempuan bisa mengenakan jilbab. Dan jika Islamofobia yang nyata dan marak ini terus berlanjut, akan datang suatu hari di mana kita harus meminta semua perempuan memakai jilbab. Semua, karena solidaritas kepada mereka yang melakukan itu untuk alasan agama," kata Van der Bellen seperti dilansir dari Independent, Sabtu, 29 April 2017.
Van der Bellen mengemukakan pernyataan itu untuk menanggapi pertanyaan dari seorang siswi yang berpendapat bahwa larangan terhadap jilbab atau kerudung bagi muslimah akan mengurangi penampilan perempuan, dan menutup sebagian dari pasar tenaga kerja.
Dia mengatakan, kebebasan berekspresi adalah hak mendasar. Begitu pula dengan perempuan muslim yang ingin mengenakan jilbab.
"Ini adalah hak setiap perempuan untuk selalu berpakaian seperti yang dia inginkan. Itulah pendapat saya mengenai masalah ini," katanya kepada para siswa sekolah tersebut.
Komentarnya itu dibuat pada Maret. Namun muncul setelah disiarkan di televisi Austria, di tengah perdebatan di negara tersebut dan negara tetangga tentang larangan mengenakan jilbab atau burqa. Pakaian ini menutupi seluruh tubuh yang dikenakan oleh perempuan Muslim.
Juru bicara presiden mengatakan bahwa setelah serangan teror terkait ISIS di seluruh Eropa, Van der Bellen ingin melihat perwakilan Muslim di Austria membuat pernyataan jelas yang menekankan bahwa kekejaman tidak dapat dibenarkan dalam Islam.
"Dia juga memperingatkan terhadap rasisme dari sisi lain, memberikan contoh seorang sopir taksi Muslim yang menolak untuk membawa orang Yahudi Ortodoks. Ini sama sekali tidak dapat diterima," kata dia.
Kantor Presiden mengatakan, Van der Bellen yakin larangan hanya dibenarkan dalam keadaan tertentu, seperti untuk hakim perempuan. Karena, pakaian keagamaan dapat menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas profesional mereka. Dia disebut akan menerapkan pembatasan pada semua simbol agama secara setara, termasuk salib Kristen dan kopiah Yahudi.
Terlepas dari latar belakang sayap kiri dari Van der Bellen, pemerintah Austria sekarang adalah koalisi antara Partai Sosial Demokrat dan Partai Rakyat Austria yang konservatif. Pada Januari, Partai Kebebasan Merdeka dari Austria mengusulkan adanya kebijakan atau undang-undang yang melarang perempuan Muslim mengenakan kerudung di pengadilan, sekolah, dan tempat umum lainnya.
Larangan akan berlaku untuk niqab (jilbab yang menutupi kepala, leher, dan muka, namun tetap memperlihatkan mata) serta burqa tapi bukan jilbab yang hanya mencakup rambut dan leher.
Namun, pemerintah juga sepakat melarang petugas polisi, hakim, dan jaksa penuntut umum mengenakan jilbab untuk kepentingan tampil "netral secara ideologis dan religius". Sebagai reaksi, ribuan orang menggelar aksi demonstrasi di Wina untuk memprotes usul tersebut.
Perdebatan mengenai pembatasan terhadap kerudung Islam terjadi di Eropa setelah gelombang serangan teror ISIS dan krisis pengungsi, yang memicu kekhawatiran akan integrasi.
Parlemen Jerman memilih untuk mendukung rancangan undang-undang yang melarang perempuan yang bekerja di dinas sipil, pengadilan, dan militer mengenakan burqa dan niqab pada Kamis.
Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Maiziere, berpendapat, pelarangan itu sesuai dengan semangat integrasi. Dia menilai, Jerman harus menunjukkan nilai-nilai budaya sendiri dan mempertegas batas-batas toleransi terhadap budaya lain.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, juga mendukung kebijakan tersebut. Dia mengatakan, jilbab penuh tidak dapat diterima di Jerman dan meminta mereka untuk dilarang. Sementara itu, anggota Parlemen Belanda memilih larangan serupa tahun lalu, meliputi di transportasi umum, pendidikan, perawatan kesehatan, dan bangunan pemerintah dan menghukum pelanggaran apa pun dengan denda.
Dukungan untuk larangan jilbab penuh telah berkembang di seluruh Eropa sejak Prancis menjadi negara pertama yang menerapkan undang-undang tersebut pada 2011. Kemudian diikuti oleh negara-negara termasuk Belgia dan Bulgaria, dengan larangan parsial diberlakukan di Austria dan sebagian Spanyol, Italia, dan Swiss.