Cara Sukses Jalani Pertukaran Umat Islam Indonesia-Australia
- VIVA.co.id/ Avra Augesty
VIVA.co.id – Enam dosen dari universitas Islam di Indonesia meluncurkan buku tentang Islam di Tanah Air. Buku berjudul "Muslim Subjectivity: Spektrum Islam Indonesia" ini merupakan hasil akhir dari tesis para dosen yang mengikuti program Partnership in Islamic Education Scholarship atau PIES.
Direktur program PIES, Greg Fealy, menuturkan buku ini memberikan pandangan tentang kompleksitas umat Islam di Indonesia. Ia mengatakan masih ada beberapa faktor yang harus dihadapi umat Muslim di negara ini.
"Jadi masih susah menggeneralisasi Islam di Indonesia, karena berbagai macam faktor, seperti kebudayaan, pemahaman doktrin, dan sebagainya," ujar Fealy saat berbincang dengan VIVA.co.id, Selasa 4 April 2017, di kantor Kedutaan Besar Australia, Jakarta Selatan.
"Buku ini menjelaskan dinamika intern umat Islam di Indonesia yang begitu variatif, penuh warna-warni. Jadi saya kira itulah kontribusi buku ini," ujar Fealy yang juga mengajar di The Australian National University.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa buku setebal 334 halaman ini tidak membeberkan adanya perbandingan antara Islam di Indonesia dan di Australia. "Nanti di buku lain ada (penjelasannya). Akan terbit pertengahan bulan Mei 2017 dan diluncurkan pertama kali di Indonesia, karena ada program pertukaran antara umat Islam Indonesia dan umat Islam Australia," paparnya.
Tak Perlu IELTS
Sementara itu, Konselor Politik dan Diplomasi Publik Kedubes Australia di Indonesia, Bradley Amstrong, menuturkan peluncuran buku berbahasa Indonesia ini mencerminkan keberhasilan program PIES. "Para penulis mampu merangkum penelitian mereka tentang Islam di Indonesia, dari segi sosial, ekonomi, dan gaya hidup," jelas Amstrong yang sudah tinggal di Indonesia selama 15 tahun.
Ia menjabarkan program beasiswa PIES diberikan kepada dosen di Perguruan-perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, yang sedang atau akan melanjutkan jenjang studinya ke S3, untuk mengkaji dan belajar segala hal di Australia selama satu tahun. Uniknya, mereka tidak perlu memenuhi syarat mahir berbahasa Inggris.
"Mereka akan dikirim ke Canberra dan Australian National University selama 8 sampai 10 bulan. Syaratnya tidak banyak, tidak perlu IELTS dan bisa pakai bahasa Indonesia," ungkap Amstrong.
"Kami tidak hanya membantu mereka menulis disertasi dengan baik, tetapi juga meningkatkan skill yang mereka perlukan untuk menjadi dosen. Ini program kerjasama dengan Kementerian Agama, tetapi dana dari pemerintah Australia dan dari Kementerian Luar Negeri Australia," jabarnya.
Keenam PTAI yang mengikuti program PIES di tahun ke-15nya yaitu UIN Makassar, IAIN Palopo, IAIN Tulungagung, IAIN Sumatra Utara, UIN Sunan Ampel, UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Raden Intan Lampung.