Ratusan Orang di PNG Diadili karena Bunuh 'Penyihir'
- REUTERS/Chris Helgren
VIVA.co.id – Lebih dari 100 pria didakwa atas pembunuhan tujuh orang yang mereka percaya sebagai penyihir. Mereka akan menjalani sidang pengadilan di Papua Nugini bulan depan.
Pada bulan April 2014 lalu, sekelompok orang diduga menyerbu desa tetangga. Mereka mengincar warga yang diduga berlatih ilmu sihir, membakar rumah-rumah dan melakukan kekerasan dengan membunuh tujuh orang.
Dua anak kecil, masing-masing berusia tiga dan lima tahun, dilaporkan dirampas dari gendongan ibu mereka dan disiksa sampai mati.
Mantan Kepala Komandan Polisi provinsi Madang, Inspektur Sylvester Kalaut, mengatakan kelompok tersebut main hakim sendiri. Ia menduga mereka merupakan gabungan warga dari beberapa desa. Di dalamnya juga terdapat anak laki-laki yang masih berusia 10 tahun.
Dari 122 orang yang didakwa atas kekejaman itu, 99 orang sudah diadili di pengadilan nasional Madang pekan lalu. Sementara sidang akan dimulai pada bulan April 2017. Semua terdakwa telah dibebaskan bersyarat.
Papua Nugini memiliki masalah panjang terkait pembunuhan tukang sihir. Kepercayaan pada ilmu gaib, sihir dan supranatural sudah menjadi "makanan sehari-hari" masyarakat adat di negara itu.
Masalah seperti inipun tersebar luas di beberapa daerah. Di wilayah pesisir utara Madang misalnya, percaya akan sihir adalah hal yang lebih wajar daripada mempercayai yang gaib. Mereka yakin keseluruhan hal tersebut dapat melekat pada diri masing-masing individu, biasanya berupa sosok perempuan.
Disiksa
Dilaporkan oleh The Guardian, Selasa 28 Maret 2017, pada bulan Oktober 2015, empat perempuan disiksa secara brutal oleh penduduk desa setempat. Mereka mempercayai klaim seorang pria yang mengatakan keempat wanita ini mengambil jantungnya dan membunuhnya, sebelum akhirnya meletakkan kembali ke raganya. Malang, salah satu wanita tewas.
Dalam kasus tertinggi tahun 2013, seorang wanita bernama Kepari Leniata (20) dibantai dan dibakar hidup-hidup setelah dituduh melakukan praktik sihir. Tidak ada yang pernah dihukum atas kematian Leniata.
Atas insiden itu, pemerintah PNG diminta untuk mencabut Undang-Undang Sihir tahun 1971 karena peraturan ini mampu memperkebal hukum bagi orang yang membunuh penyihir. Seluruh kasus di atas dianggap sebagai kemunduran penegakan hak asasi manusia di negara yang terletak di bagian timur pulau Papua ini.
Juru bicara Amnesti Internasional, Champa Patel, menegaskan hukuman yang tegas harus diterapkan untuk mencegah pembunuhan semena-mena. Menurut Patel, sidang bulan April mendatang adalah kesempatan emas pihak berwenang untuk menegakkan kembali keadilan di PNG, selama terdakwa menerima hukuman yang adil dan bukan hukuman mati.
"Untuk waktu yang sangat lama, hukum telah abai terhadap kasus pembunuhan para wanita yang dituduh sebagai tukang sihir. Mereka kerap dipukuli, bahkan dibakar hidup-hidup di muka umum. Pihak berwenang gagal bertindak. Sidang kali ini adalah kesempatan pemerintah untuk mendobrak tradisi impunitas (kebijakan membiarkan atau melindungi pelaku kejahatan dari tanggung jawab dan sanksi kejahatan yang telah dilakukannya)," ujar Patel. (ren)