"Abu Sayyaf Jadikan Aksi Penyanderaan Ladang Bisnis"
- VIVA.co.id/Miranti Hirschmann
VIVA.co.id – Seorang warga Jerman diesksekusi mati dengan cara dipenggal oleh kelompok bandit Abu Sayyaf setelah tuntutan sebesar US$500 ribu (Rp6,68 miliar) tidak dibayarkan pada waktu yang ditentukan.Â
Juergen Kantner (70) akhirnya meregang nyawa setelah disandera selama tiga bulan. Ia diculik saat berada di perairan Sabah. Video proses pemenggalan kepala Kantner tersebut disebarkan oleh SITE Intelligence Group.
Pemerintah Jerman mengutuk aksi tersebut. Sementara Presiden Filipina Rodrigo Duterte meminta maaf kepada pemerintah Jerman sehari setelah peristiwa tersebut.
Ia mengakui pihaknya gagal mencegah pembunuhan tersebut. Penculikan dan penyanderaan terhadap warga negara asing oleh kelompok Abu Sayyaf terus berlangsung dan kian marak.
VIVA.co.id mewawancarai seorang warga Jerman yang pernah disandera oleh kelompok militan itu di Filipina Selatan. Andreas Lorenz adalah seorang wartawan Jerman. Ia disandera selama 26 hari dan nyaris dibunuh pada 2001.
Kepada VIVA.co.id, ia bersedia menceritakan pengalamannya saat ia disandera. Saat itu, Lorenz adalah koresponden majalah berita Jerman, Der Spiegel untuk Timur jauh berkedudukan di Beijing, China.
Keberadaan Lorenz di Pulau Jolo, Filipina Selatan, awalnya, untuk meliput penyanderaan sekelompok turis yang diculik dari Pulau Sipadan, Malaysia. Salah satu korban penculikan itu adalah perempuan berkewarganegaraan Jerman bernama Wallad.
Namun belakangan, Lorenz dikhianati oleh penduduk setempat. Ia pun diculik dan disembunyikan. Berikut wawancara selengkapnya yang berloksi di Berlin, Jerman:
Bagaimana kisahnya hingga Anda diculik di Filipina Selatan?
Saat itu saya berencana meninggalkan Pulau Jolo di hari berikutnya. Tiba-tiba saya dikontak seorang yang saya kenal saat mengunjungi kompleks kantor pemerintah setempat. Namanya Filip atau Filipo begitu. Ia adalah asisten dari salah satu negosiator untuk kasus warga negara Jerman yang disandera, ibu Wallad. Negosiator yang saya maksud adalah seorang guru agama Islam yang mengajar di daerah tersebut.
Filip mengatakan kelompok Abu Sayyaf berencana membebaskan sandera mereka, ibu Wallad, dengan alasan ia sakit dan kelompok itu tak ingin lebih lama menyanderanya.
Mereka ingin saya membawa sebuah surat pada negosiator Jerman. Saat itu memang ada Polisi Jerman yang ikut dalam upaya pembebasan tersebut, posisinya standby di kota Zamboanga. Saya setuju. Namun, ternyata itu merupakan jebakan.Orang-orang itu menipu saya. Saya diculik di tengah kota Jolo, dengan membajak Jeepney yang saya tumpangi. Mereka semua punya pistol. Bagaimana saya mau melawan bila pistolnya ditodongkan ke kepala saya?
Bagaimana para penyandera memperlakukan Anda selama ditawan?
Saya bisa katakan bahwa saya beruntung. Mereka tak pernah memperlakukan saya secara buruk. Mereka tidak pernah memukul, membentak atau melecehkan. Mereka cukup sopan. Kecuali, satu dari mereka yang selalu mencoba mencuri barang-barang saya seperti kacamata. Mereka tahu betul bahwa aksi penyanderaan ini sebuah bisnis.
Apakah mereka memberi Anda makan?
Ya mereka memasak sendiri. Untuk sarapan saya mendapat semacam pancake. Mie instan untuk makan siang dan kadang nasi saat makan malam. Gizinya sangat buruk. Para penyandera makan-makanan yang sama dengan apa yang saya makan.
Mereka pun menderita dengan makanan yang ada. Sekali waktu salah satu dari mereka membawa ikan ke lokasi tempat saya ditawan. Para penyandera sangat gembira, bahkan membaginya dengan saya.
Apakah tuntutan uang tebusan dibayarkan untuk pembebasan Anda?
Kita meninggalkan lokasi bergerak ke jalan besar di mana lokasi yang telah disepakati untuk pertukaran sandera dengan uang tebusan. Operasi yang sangat profesional. Yang pasti para penyandera juga sangat khawatir diserang oleh militer Filipina atau kelompok lain yang menginginkan bagian dari uang tebusan.
(Sayang, Lorenz tidak menyebutkan jumlah uang tebusan yang dibayarkan).
Militer Filipina dalam operasi pemberantasan Abu Sayyaf.
Apa peran Pemerintah Jerman dalam proses pembebasan Anda?
Pemerintah Jerman menolak campur tangan untuk pembebasan saya. Mereka menegaskan itu urusan perusahaan media yang menugaskan saya dan negosiasi harus dilakukan secara mandiri.
Media tempat saya bekerja, Der Spiegel, mengirim rekan-rekan wartawan yang sangat berpengalaman ke Jolo, untuk membantu pembebasan saya. Mereka mencari sendiri jaringan di sana dan mencoba membangun kontak dengan penyandera saya untuk bernegosiasi.
Rekan-rekan saya itu juga menyewa body guard. Yang dikhawatirkan adalah bila uang tebusan jatuh pada kelompok yang salah.Â
Bagaimana sebetulnya proses negosiasi hingga mereka setuju membebaskan Anda?
Pihak Libya-lah yang mengadakan perjanjian dengan para penyandera. Mereka sepakat untuk membebaskan para sandera yang terdiri dari para turis yang mereka culik di Pulau Sipadan.Â
Pemerintah Jerman mengatakan mereka tidak mengadakan kontak dengan para penyandera di Filipina, tetapi mereka menggunakan koneksi dengan pemerintah Libya.
Berbeda dengan kasus yang menimpa saya, di mana negosiasinya dilakukan antara perusahaan media tempat saya bekerja (Der Spiegel) langsung dengan para penyandera. Sampai saat ini, saya tidak tahu seperti apa perjanjiannya.
Â
Apa yang terjadi setelah Anda dibebaskan?Â
Setelah saya dibebaskan, militer Amerika masuk dan melatih militer Filipina. Termasuk juga memberi berbagai peralatan.Terjadilah pertempuran yang cukup sengit antara militer Filipina dan kelompok separatis.
Tapi semua itu tidak menyelesaikan permasalahan. Kelompok-kelompok itu sangat aktif, bahkan lebih aktif dan lebih radikal dari sebelumnya. Sekarang ini mereka mampu menculik dari tempat tempat yang jaraknya lima ratus mil dan membawa ke camp mereka di Basilan atau Jolo.
Mereka punya speedboat dan senjata. Terakhir saya dengar mereka menewaskan sejumlah militer Filipina. Artinya, kelompok tersebut memiliki kemampuan militer. Mereka sangat berbahaya. Ini masalah yang harus dicari jalan keluarnya.
Andreas Lorenz bersama Miranti Hirschmann, Kontributor VIVA.co.id.
Penculikan, penawanan, bahkan eksekusi terhadap sandera di Filipina Selatan terus berlangsung hingga sekarang. Sebagai orang yang pernah disandera di sana, menurut Anda apa solusinya?
Ini bukan hanya masalah pemerintah Filipina. Ini masalah regional, yang melibatkan pemerintah Malaysia dan Indonesia. Sebaiknya, ketiga negara ini saling berkoordinasi lebih baik untuk menjaga area perairan dan berkoordinasi secara militer, menemukan dalang penyanderaan dan menghindari aksi-aksi penculikan.
Selain itu, pemerintah Filipina harus juga mencari solusi untuk meningkatkan kesejahteraan di Filipina Selatan. Ini masalah ekonomi. Mereka menggunakan uang tebusan tak hanya untuk membeli senjata, tetapi untuk membayar para penyandera, anggota kelompok mereka, keluarganya dan clan-clan berkuasa di desa-desa sekitarnya.
Ini bisnis yang menguntungkan semua orang di sana. Semua akan dapat bagian. Untuk memotong lingkaran ini, pemerintah butuh dana untuk investasi ekonomi dan sosial, seperti pendidikan. Ini hanya bisa dilakukan bila negara-negara di wilayah regional bekerjasama. Itulah satu-satunya jalan.
Apakah menurut Anda Presiden Rodrigo Duterte dapat menyelesaikan masalah di Filipina Selatan?
Presiden Duterte tahu benar masalah ini. Ia berasal dari Mindanao. Ia sangat mengerti bisnis tawan-menawan ini. Ia pernah berkecimpung dalam politik daerah itu dan tahu sekali mekanismenya.
Jika ia mengambil langkah radikal seperti pemerintah sebelumnya dengan mengirim lebih banyak tentara, lebih banyak polisi, helikopter dan lebih banyak operasi militer, saya ragu strategi ini akan berhasil.