Kenya Desak Para Istri Tolak Seks Hingga Suami Ikut Pemilu
VIVA.co.id – Para wanita di Kenya, didesak untuk tidak melakukan hubungan seks dengan suami mereka sampai para suami ini mau mendaftarkan diri sebagai pemilih dalam pemilihan Presiden Kenya, Agustus mendatang.
Dikutip melalui VICE, Jumat 20 Januari 2017, seorang anggota parlemen di Majelis Nasional Kenya, Mishi Mboko, baru-baru ini mengatakan kepada para wanita Kenya di sebuah acara publik untuk menolak permintaan suaminya yang meminta "jatah" sampai si suami menunjukkan kartu pemilih mereka.
Hukum pendaftaran pemilih di Kenya, bahkan lebih ketat daripada di Amerika Serikat. Di Kenya, warga diminta untuk mendaftarkan diri enam bulan sebelum masa pemilu tiba, yaitu 17 Februari 2017, dalam pemilu musim panas mendatang. Tak ayal, rencana Mboko tersebut dianggap sebagai "Dry Januari".
Saran ini, kata Mboko, adalah upaya yang akan dilancarkan partainya untuk mengalahkan Presiden Kenya sekarang, Uhuru Kenyatta. Kenyatta adalah putra presiden pertama Kenya, sekaligus pendiri negara, dikabarkan akan mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai orang nomor satu Kenya. Padahal, ia telah didakwa melakukan kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Kenyatta dituduh melakukan penghasutan setelah Pilpres 2007, yang menyebabkan hilangnya 1.300 nyawa. Meski demikian, pada 2014, ICC mencabut segala tuduhan tersebut, karena tidak adanya bukti kuat.
Popularitas Kenyatta melonjak drastis, setelah tuduhan atas dirinya dihilangkan, meski kenyataannya Kenya masih diselimuti oleh banyak utang negara dan biaya hidup yang tinggi.
Mogok seks bukanlah hal baru dalam ranah politik Kenya. Pada 2009, sekelompok wanita yang menamai dirinya Organisasi Pengembangan Perempuan menyerukan pemogokan seks selama seminggu.
Alasannya, mereka ingin Mwai Kibaki, Presiden Kenya saat itu, dan Perdana Menteri Raila Odinga berdamai dan pemerintahan berjalan normal lagi, setelah memanasnya pemilu 2007. Alhasil, aksi mogok seks seminggu ini ternyata efektif membuat politik di Kenya stagnan.
Sementara itu, di tempat lain di Afrika, aktivis Leymah Gbowee memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian atas upayanya menggunakan aksi mogok seks sebagai "senjata" untuk mengakhiri Perang Sipil Kedua di Liberia pada 2003. (asp)