Ribuan TKI Ilegal Bekerja di Kapal-kapal Asing
- REUTERS/Darren Whiteside
VIVA.co.id – Pengiriman anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal berbendera asing secara ilegal telah berlangsung lama. Jumlahnya pun tak diketahui secara persis, namun diperkirakan ada ribuan yang bekerja secara tidak sah.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia dari Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, mengungkapkan akar permasalahan yang menyebabkan peningkatan kasus ini adalah lemahnya regulasi dan kesempatan kerja yang terbatas di dalam negeri. Hal ini pun memberi dampak buruk bagi pekerja Indonesia.
"Sebetulnya masalahnya klise sama dengan kasus TKI, yaitu karena lapangan kerja di dalam negeri tidak mencukupi dan tidak menampung usia kerja. Bekerja sebagai ABK ini relatif tidak membutuhkan skill, mereka bahkan tidak punya basic safety certificate yang dibutuhkan untuk bekerja di kapal," kata Lalu kepada wartawan di Gedung Kemlu, Selasa malam, 10 Januari 2017.
Gaji sangat kecil dan minimnya fasilitas menjadi momok yang harus diterima oleh para ABK di kapal-kapal ini. Pada umumnya, kata Lalu, para pekerja memperoleh penghasilan sekitar USD 100-300 per bulan. Namun penghasilan ini tak diperoleh secara langsung melainkan hanya diberikan sekitar 40 dolar selama berada di kapal, dan sisanya akan dibayarkan setelah 1-2 tahun masa kontrak.
"Jadi bisa dibayangkan sebulan mereka hanya dapat 40 dolar, sisanya dibayarkan setelah masa kontrak itu. Makanya kalau ada sesuatu terjadi di pelayaran, praktis mereka tidak akan mendapatkan penghasilan itu," kata Lalu.
Hingga kini pun pemerintah belum mengetahui secara pasti berapa jumlah tenaga Indonesia yang bekerja di kapal-kapal secara ilegal. Namun sejauh ini, terdapat empat titik yang biasanya disinggahi ABK untuk berlabuh saat musim angin.
Empat tempat tersebut antara lain Cape Town di Afrika selatan, Mauritius di Afrika timur, Montevideo di Uruguay, dan Kepulauan Fiji. Diperkirakan setiap tahunnya ada ribuan ABK yang singgah di keempat titik tersebut. Sementara itu diperkirakan 90 persen dari mereka yang bermasalah adalah mereka yang bekerja di kapal Taiwan.
"Agak sulit menangani hal ini karena regulasi dan koordinasi masih sangat lemah. Ada beberapa kementerian terkait yang berwenang antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan BNP2TKI," ujarnya.
Menangani hal ini, Kementerian Luar Negeri pun akan menjadikan penanganan masalah ABK menjadi prioritas tahun ini. Diharapkan dengan adanya koordinasi antara pihak terkait, maka monitoring terhadap mereka yang bekerja di kapal asing juga bisa dilakukan secara komprehensif. Hal ini disampaikan Menlu RI, Retno Marsudi.
"Kemlu akan terus memastikan kehadiran negara bagi WNI di luar negeri antara lain dengan melanjutkan upaya perlindungan WNI yang preventif, termasuk penguatan database dan pembuatan aplikasi mobile, mendorong tata kelola dan perlindungan bagi WNI yang bekerja di sektor rentan, khususnya di kapal-kapal penangkap ikan asing," tegas Retno.
(ren)