RRC Mau Tambah Anggaran Militer Jadi Rp3.000 Triliun Lebih
- blogs.reuters.com
VIVA.co.id – IHS Jane, lembaga riset dan konsultan pertahanan yang berbasis di Inggris, mengungkapkan China bakal melipatgandakan anggaran militernya menjadi US$233 miliar (Rp3.134 triliun) pada 2020. Anggaran tersebut melonjak 60 persen dari tahun ini yang mencapai US$146 miliar (Rp1.964 triliun), atau hampir dua kali lipat dari anggaran 2010 yang sebesar US$123 miliar (Rp1.654 triliun).
Namun, jika ditelisik lebih jauh, belanja militer China mengalami peningkatan secara tahunan (year on year/yoy) yang rata-rata sebesar 9,5 persen antara 2005-2014.
Artinya, jika mengambil contoh anggaran tahun ini yang sebesar US$146 miliar dan peningkatannya 9,5 persen selama empat tahun berturut-turut, maka akan sampai pada jumlah yang tidak jauh dari US$233 miliar.
Analis Utama IHS Jane, Craig Caffrey, mengungkapkan peningkatan anggaran militer China sebagai respon terhadap meningkatnya ketegangan regional yang berasal dari sengketa wilayah di Laut China Selatan.
Menurut Craig, Beijing memandang bahwa terjadi 'penyitaan tidak sah' atas hak wilayah tersebut oleh Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda. Selain itu, militer Amerika Serikat seperti menantang China dengan mengirim pesawat tanpa awak bawah air untuk memantau pergerakan militer Tirai Bambu.
"Ibaratnya, China mempersenjatai (membangun pangkalan militer) 'ketapel' (Laut China Selatan) untuk melawan agresor (AS) sebagai 'latihan meregangkan otot'," katanya, seperti dikutip situs Shanghaiist, Rabu, 21 Desember 2016.
Craig juga melihat bahwa Asia Pasifik akan menjadi kunci dalam pergeseran kekuasaan dari yang tradisional atau memperkuat kedaulatan masing-masing negara, menjadi memperkuat pertahanan teritorial di luar kedaulatan.
"Kebangkitan militer China cenderung 'membangun' negara-negara di sekitarnya untuk meningkatkan anggaran militernya pula," ungkap dia. Sementara itu, Juru Bicara Kongres Rakyat Nasional China, Fu Ying mengaku, menurun atau meningkatnya anggaran pertahanan China ditentukan oleh kebutuhan atas situasi ekonomi, politik dan keamanan nasional.
Militer China saat parade di Lapangan Merah, Beijing (Reuters.com).
Kendati demikian, China tetap memprioritaskan reformasi militer dengan melakukan perampingan jumlah personel namun meningkatkan kemampuan persenjataan berbasis teknologi. "Tentara Pembebasan Rakyat China sedang menemukan kembali dirinya sendiri," tutur Ying.
Beijing memastikan bakal memangkas jumlah personel sebanyak 300 ribu pasukan dan memfokuskan perhatiannya ke sumber daya berbasis laut dan udara. Setelah kapal induk Liaoning resmi berlayar, kini kapal induk kedua sedang tahap pembangunan.
Selain itu, China juga sedang menggenjot jet tempur teranyarnya seperti J-15 dan J-20 guna memperkuat ruang udara. Di kawasan Asia Timur, Taiwan dan Jepang, adalah yang paling ketar-ketir atas peningkatan anggaran militer China.
Taiwan, meski memiliki program senjata dalam negeri dan sudah mampu memproduksi rudal dan jet tempur sendiri sejak 1990-an, namun dari sisi anggaran pertahanan justru merosot. Terlebih, negeri yang ingin merdeka dari China Daratan ini terlibat dalam ketegangan di Laut China Selatan.
Taipei hanya menghabiskan dua persen dari APBN mereka. Jadi tak heran mengapa Taiwan sangat bergantung kepada Amerika Serikat. Adapun Jepang tengah bersiap meningkatkan anggaran pertahanannya menjadi US$44,64 miliar (sekitar Rp600,5 triliun). Peningkatan ini merupakan yang kelima berturut-turut.
(ren)