Presenter Israel Umbar Kemarahan atas Tragedi Aleppo
- REUTERS / Omar Sanadiki
VIVA.co.id – Penyiar berita Israel, Lucy Aharish, mengalihkan bahasa yang biasa ia gunakan ketika membawakan beritanya. Ia mengganti bahasa Yahudi menjadi bahasa Inggris karena menginginkan para pemirsa di seluruh dunia, secara langsung, dapat memahami pesan penting yang ia sampaikan secara emosional.
Seperti dikutip melalui Jewish Telegraphic Agency, Kamis, 15 Desember 2016, Aharish biasa membacakan berita-berita yang dibawakannya dalam bahasa Hebrew, namun untuk sekali ini saja, jurnalis Arab-Israel ini tiba-tiba mengganti pemakaian bahasanya di tengah-tengah pembacaan berita mengenai pengeboman di Aleppo.
"Saat ini, di Halab, Suriah, yang jaraknya hanya delapan jam perjalanan dari Tel Aviv, genosida sedang terjadi," ucap Aharish ketika mebawakan beritanya menggunakan pengucapan Arab Aleppo.
"Kau tau? Biarkan aku menjelaskannnya lebih detil. Ini adalah holocaust. Ya, holocaust. Mungkin kita tak ingin mendengar atau berurusan tentang hal itu, bahwa di abad ke-21, di era media sosial, dunia di mana informasi dapat masuk ke genggaman tangan Anda, di dunia di mana Anda dapat mendengar dan melihat para korban dan cerita-cerita menyeramkannya secara langsung, di dunia ini kita hidup dan tidak melakukan apapun sementara banyak anak kecil di sana yang dibantai setiap jam," ujarnya.
 Aharish menunjuk beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat, menyalahkan mereka karena tidak berani melakukan apapun untuk menciptakan perdamaian di Aleppo dan menewaskan banyak warga sipil di sana.
Dia juga sempat menuduh PBB berbohong telah mengadakan pertemuan dan menyeka air mata mereka saat melihat gambar seorang ayah menggendong putri kecilnya yang terbunuh."Saya malu sebagai manusia kita memilih pemimpin yang fasih mengecam rakyatnya dan menunjukkan kekuatan dalam aksi tersebut," ucapnya.
"Saya malu Arab disandera teroris dan pembunuh dan kita tidak melakukan apa-apa. Saya malu sebagian besar kedamaian umat manusia tidak relevan lagi," imbuhnya.
Aharish yang tumbuh besar di kota Dimona, sebelah selatan Israel, membuat pernyataan kontroversial semenjak terjadi kasus penusukan di Israel. Di terus memprotes dan menyampaikan keluh kesahnya kepada para pejabat Arab-Israel yang menarik reaksi polarisasi di masyarakat Israel.
"Para pemimpin Arab... memicu pertikaian di lingkungan (Israel) dan bukannya menciptakan perdamaian, dan kita lah yang akan membayar itu semua," katanya pada Oktober 2015.
(ren)