8 CEO Bersaksi soal Dugaan Skandal Korupsi Presiden Korsel
- Reuters/Kim Hong Ji
VIVA.co.id – Delapan kepala eksekutif perusahaan kakap Korea Selatan menghadiri sidang di parlemen negeri itu. Seperti dikutip situs Sputniknews, Selasa, 6 Desember 2016, kehadiran mereka untuk memberikan kesaksian dalam dugaan skandal korupsi Presiden Park Geun-hye.Â
Dugaan skandal korupsi dan nepotisme ini pertama kali terkuak pada akhir Oktober 2016, ketika media melaporkan bahwa Geun-hye memperbolehkan Soon-sil, yang juga penasihat bayangan sang presiden, ikut campur dalam urusan kenegaraan seperti mengedit pidato hingga menentukan kebijakan negara.
Selain itu, Soon-sil diduga menekan perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan untuk memeras uang mereka guna dialihkan ke yayasan miliknya bagi kepentingan pribadi.
Diduga, sebesar US$70 juta (Rp938 miliar) dana telah ditransfer ke rekening bank yayasan milik Soon-sil tersebut.
Ia pun resmi didakwa pada 20 November dan jaksa penuntut umum Korea Selatan mengatakan bahwa Presiden Geun-hye diduga kuat terlibat dalam skandal ini.
Akibatnya, ratusan ribu warga negeri Ginseng orang turun ke jalan di ibu kota Seoul menuntut pengunduran diri Geun-hye. Pada Jumat ini, parlemen Korea Selatan akan memberikan suara untuk melakukan pemakzulan (impeachment).
Agar rencana tersebut sukses dibutuhkan dua pertiga suara mayoritas di parlemen yang totalnya mencapai 300 kursi. Sebelumnya, sekitar 1,5 juta demonstran tumpah ruah di jalan-jalan utama yang menghubungkan Balai Kota dan Gwanghwamun Square menuju Gyeongbok Palace di pusat kota Seoul.
Gwanghwamun station is changed to "President Park resignation station," ahead of the mass rally in Seoul against Park Geun-hye pic.twitter.com/lbvYjngyYC
— Joseph Kim (@josungkim) December 3, 2016
Menurut penyelenggara, jutaan orang itu datang untuk menyalakan lilin dengan tujuan menguatkan tekanan untuk Geun-hye agar mundur. Massa yang datang dari beberapa lokasi mulai berbaris.
Aksi besar ini kembali terjadi karena marah mendengar pidato Park Geun-hye yang disiarkan televisi nasional tentang kegagalan parlemen untuk mengadakan pemungutan suara mengenai pemakzulannya.