Bebaskan 9 WNI dari Abu Sayyaf Diminta Jangan Pakai Militer
- Reuters/Erik De Castro
VIVA.co.id – Sembilan anak buah kapal warga negara Indonesia (ABK WNI) hingga kini masih disandera kelompok bandit Abu Sayyaf di Filipina. Sementara itu, Indonesia, Filipina dan Malaysia, akhirnya menyepakati untuk memperkuat pelaksanaan patroli laut untuk membasmi aksi perompakan di perairan.
Salah satu poin yang dikuatkan adalah kini masing-masing angkatan laut negara berhak mengejar pelaku perompakan hingga melintasi batas negara. Kepastian itu disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, usai rapat bersama DPR Rabu lalu.
Meski begitu, apakah kerja sama ini efektif lantaran posisi Indonesia sangat riskan dengan jumlah sandera yang banyak ketimbang Malaysia?
Guru Besar Hubungan Intenasional Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mengemukakan peran pemerintah, dalam hal ini memanfaatkan kekuatan militer (hard power), bukan lagi solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Menurutnya, pemerintah dari tiga negara harus memakai strategi yang lebih halus atau tradisional (soft power), yaitu melakukan pendekatan dengan memanfaatkan pengaruh dari tokoh agama atau organisasi masyarakat (kultural).
Ia juga menjelaskan, pendekatan tradisional dinilai lebih efektif demi menjamin keselamatan WNI ketimbang mengirim pasukan militer.
"Kekuatan militer sudah tidak lagi menjadi jalan keluar yang optimal. Pemerintah bukan lagi berada di garis depan, melainkan harus memanfaatkan tokoh masyarakat untuk melakukan pendekatan secara kultural dengan pelaku penyanderaan," kata Aleksius kepada VIVA.co.id, Jumat 16 September 2016.
Selain itu, ia melanjutkan, karena kompleksitas dan struktur wilayah, faktor kedaulatan negara dan martabat bangsa turut memperlambat upaya pembebasan serta pencegahan penyanderaan di masa mendatang.
"Artinya, lokasi atau tempat sandera berada di Filipina sulit untuk dijangkau. Apalagi dibatasi dengan masalah kedaulatan negara. Indonesia harus manfaatkan semua fasilitas, terutama unsur keagamaan, sehingga proses pembebasan cepat direalisasikan," lanjut Aleksius.
(ren)