Ima Matul, Korban Perdagangan Manusia Kini Mendunia
- VOAIndonesia/White House
VIVA.co.id - Ima Matul tiga tahun tak berdaya dalam cengkeraman majikan. Namun setelah mampu membebaskan diri, Ima tak tinggal diam.
Nama Ima Matul Maisaroh, perempuan berusia 33 tahun asal Desa Gondanglegi, Malang, itu membuat publik AS terpukau. Ia berhasil menyampaikan pidato di hadapan puluhan ribu delegasi yang hadir di acara Konvensi Partai Demokrat di Stadion Utama Wells Fargo, Philadelphia, Pennsylvania, pada Selasa, 26 Juli 2016 waktu setempat atau Rabu, 27 Juli 2016, WIB.
Ima adalah korban perdagangan manusia yang berhasil meloloskan diri. Ia pertama datang ke Los Angeles pada tahun 1997, saat berusia 17 tahun. Ia dijanjikan bekerja sebagai pengasuh anak dengan upah sekitar US$150 per minggu.
"Namun selama tiga tahun menjadi pramuwisma, saya mengalami penyiksaan," ujarnya di hadapan publik, seperti dikutip dari BBC, Kamis, 28 Juli 2016.
Selama tiga tahun, Ima tak bisa melarikan diri karena tak menguasai Bahasa Inggris. Ia harus bekerja selama 18 jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa dibayar, dan terus mengalami kekerasan termasuk dipukul hingga masuk ruang gawat darurat. Ima baru berhasil melarikan diri setelah mampu menulis dalam Bahasa Inggris. Ia menulis di selembar kertas, "tolong, saya tak sanggup lagi."
Surat tersebut ia berikan pada pengasuh anak yang tinggal di sebelah rumahnya. Tetangganya membawa tulisan tersebut ke koalisi penghapusan budak dan perdagangan, Coalition to Abolish Slavery and Trafficking (CAST), di Los Angeles. Ima berhasil dibebaskan, dan ditampung di sana. Melalui CAST, Ima akhirnya belajar berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris.
Kini, ia menjadi aktivis anti-perdagangan manusia. Keberanian dan aktivitasnya ini mengantarkan Ima bertemu dengan Presiden Barrack Obama. Ia diganjar penghargaan Clinton Global Initiative pada tahun 2012, bahkan kerap diajak bertukar pikiran soal perdagangan manusia. Dan Konvensi Nasional Partai Demokrat pada 26 Juli 2016 itu menjadi panggung baru buat Ima Matul Maisaroh, ibu tiga anak asal Indonesia itu.
"Perdagangan manusia tidak hanya terjadi di luar negeri, namun juga di negara ini. Sebagai seorang penyintas, seorang pegiat, saya berharap kita dapat mengakhiri perdagangan manusia," ujarnya.
Kepada BBC ia mengatakan tantangan untuk mengatasi perdagangan manusia adalah meningkatkan pendidikan dan kesadaran publik.