Singapura, Surga Belanja yang Tak Lagi Diminati
- Reuters/Edgar Su
VIVA.co.id – Pamor Singapura yang selama ini terkenal sebagai surga belanja dunia, tampaknya mulai memudar. Pertokoan di sejumlah mal di Singapura, kini bertambah sepi dan ditinggalkan pengunjungnya.
Sam Goh, pria berusia 44 tahun, pemilik dan pengelola toko olah raga Lic Activ mengakui, menurunnya animo belanja publik. Ia mengaku selama beberapa minggu terakhir, hanya buka selama lima jam, dan hanya segelintir orang yang datang mengunjungi tokonya.Â
"Ketika Anda memasuki pusat perbelanjaan ini, yang Anda lihat hanya kekosongan," kata Goh, seperti dikutip dari Reuters 6 Juni 2016.
Liv Activ, menurut Goh, mungkin akan segera mengikuti jejak sejumlah merek lainnya yang meninggalkan Orchard Road, pusat perbelanjaan terkenal di Singapura.
Pemandangan lainnya di sepanjang jalan, akibat pengunjung yang sangat sedikit, kasir toko justru sibuk bermain games di ponsel mereka. Sementara itu, beberapa asisten toko memanfaatkan koridor sepi di pusat perbelanjaan sebagai arena mini golf. 13 dari 16 unit yang berada di lantai lima sebuah pusat perbelanjaan juga kekurangan penyewa.
Bangunan kosong yang disewakan untuk berjualan pun sepi peminat. Misalnya, di daerah pinggiran kota di sisi barat dari Singapura, lebih dari dua per tiga pusat perbelanjaan bawah tanah yang telah dibuka selama hampir dua tahun tetap kosong.
Reputasi Singapura sebagai "surga belanja", di mana investor menggelontorkan dana sebesar US$7.25 miliar dalam lima tahun terakhir, mengalami pukulan perekonomian, karena melemahnya perekonomian lokal dan penurunan belanja turis.
Penurunan turis di Singapura, terjadi karena banyak faktor. China, salah satu negara penyumbang turis ke Singapura, yang beberapa waktu lalu mengalami perlambatan ekonomi dan saat ini tengah berjuang memberantas korupsi, telah membangun banyak pusat perbelanjaan mewah dan bahkan mendirikan "surga bebas pajak" di sebuah spot wisata lokal.
China melakukan itu untuk mengangkat konsumsi dan memacu pariwisata domestik. Kondisi itu dinilai berhasil, karena akhirnya banyak warga China yang memilih belanja di negaranya sendiri.
Sementara itu, Indonesia, Thailand, dan Malaysia memiliki beberapa produk lokal terbaik dengan versi yang lebih terjangkau. Misalnya saja, sebuah tas mewah yang dibuat oleh Coach, harganya bisa lebih murah dibandingkan di Singapura. Di Bangkok dan Jakarta, ruang ritel telah meningkat 20-25 persen dalam lima tahun. Data tersebut, merujuk data dari perusahaan real estate CBRE, diindikasikan dengan berkurangnya ruang kosong.
Bagi Singapura, menurunnya animo belanja dan sepinya turis ini bukan sebuah permasalahan kecil. Pedagang grosir dan eceran menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu. Namun, ekonomi global yang lesu telah memperlambat dan mengurangi belanja Singapura, terutama para pekerja di sektor ekspor.
Sementara itu, pembeli dari luar negeri menghabiskan tujuh persen lebih sedikit dalam sembilan bulan pertama pada 2015. Jumlah ini menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014.
Memburuknya outlook ritel merupakan satu di antara beberapa tantangan yang dihadapi oleh sektor properti di Singapura, yang mencakup pengembang dan real estate investment trust, atau tuan tanah, dengan saham perusahaan seperti Frasers Centrepoint, CapitaLand dan Wheelock Properti kehilangan 10-20 persen dalam 12 bulan terakhir.
Penjualan pakaian dan sepatu di Singapura juga turun 3,5 persen tahun-ke-tahun pada Maret dan 14,6 persen pada Februari, seperti merek pakaian Inggris New Look dan Celio Prancis berencana untuk menutup cabang di Singapura tahun ini. "Saya pesimis tentang ritel di sini," kata Christine Li, Direktur Penelitian Perusahaan Real Estate, Cushman dan Wakefield.
Kondisi ini diperkirakan semakin parah, jika Singapura tak segera mengambil sikap berbeda untuk mengubahnya. Jika terus memburuk, predikat Singapura sebagai surga belanja dunia akan segera hilang. (asp)