Buruh Anak di Myanmar, PR Lama Pemerintahan Baru

Buruh anak di Myanmar. Sebagian dipekerjakan sebagai nelayan.
Sumber :
  • REUTERS/Soe Zeya Tun

VIVA.co.id – Walaupun telah memiliki jajaran pemerintahan yang baru, Myanmar masih berkutat dengan isu lama soal tenaga buruh anak.

Jumlah Pekerja Anak Masih Cukup Tinggi

Dilansir dari situs newshub.co.nz, Senin, 25 April 2016, dunia kerja Myanmar masih "dihiasi" pasar tenaga kerja yang dipenuhi oleh anak-anak yang membanting tulang demi menghidupi keluarga mereka yang miskin.

Salah satu anak di bawah umur yang tidak beruntung, karena tak bisa menikmati masa kecilnya adalah Tun Min (16 tahun). Selama ini, hidup Tun dipenuhi dengan pekerjaan tanpa adanya waktu untuk bermain layaknya anak lain.

Nasib Malang Buruh Anak di India

Setiap hari, Tun pergi ke pasar apung lokal di Yangong, di mana ia bekerja demi mendapatkan sekitar Rp110.000 dari hasil mengantarkan ikan.

"Mimpi saya adalah menjadi pedagang ikan di pasar, saya butuh uang untuk menjadi pedagang ikan. Jika sudah (jadi pedagang ikan), saya bisa mendapatkan uang," kata Tun.

Majelis Masyayikh Beberkan Lahirnya UU Pesantren Guna Membangun Ekosistem Pendidikan yang Holistik

Bocah malang itu terpaksa keluar dari sekolah ketika berumur 12 tahun dan mulai menjadi tulang punggung keluarga, karena ibunya sakit. Myanmar merupakan salah satu negara dengan kasus atau angka buruh anak terparah di dunia.

Sejak 2011, perekonomian Myanmar perlahan membuka diri mereka. Namun, kondisi itu membuat pasar menjadi butuh lebih banyak pekerja. Oleh karenanya, pemerintahan demokratik Myanmar yang baru berniat untuk mengubah semua keadaan itu.

"Jika tidak bisa memecahkan masalah ini, tidak akan ada perkembangan di negara kami. Karena, mereka lah yang seharusnya memimpin negeri di masa depan," kata anggota dewan negara itu, May Win Myint.

Menurut data Unicef, jumlah buruh anak di Myanmar mencapai 33 persen dari penduduk negara tersebut. Jutaan anak usia tujuh hingga 17 tahun dipekerjakan di berbagai sektor produksi. Bahkan, sebuah wawancara yang dilakukan lembaga pengawas hak asasi (HRW) di Myanmar, lebih dari 20 persen tentara aktif mereka adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun.

Namun, Michael Slingsby, dari UNDP Urban and Regional Planning Bureau for Asia, beranggapan jika Myanmar melarang tenaga kerja anak, tetap terdapat kemungkinan anak-anak masih terus bekerja. "Saya rasa harus ada area prioritas, namun dibarengi dengan kebijakan yang positif," kata Slingsby.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya