Babak Baru Hubungan Turki-Iran
- sputniknews.com
VIVA.co.id - Tiada teman dan musuh abadi dalam politik. Prinsip ini yang dipakai Turki terhadap Iran.
Seperti diketahui, Ankara dalam beberapa bulan terakhir, tengah dilanda konflik politik, terutama sejak krisis Suriah. Ditambah lagi, saat ini Turki masih harus berurusan dengan Moskow dan bangsa Kurdi.
Dengan Rusia, Turki dituding dengan sengaja menembakkan rudal ke arah jet tempur Su-24. Sementara itu, dengan Kurdi, Ankara dikecam dunia internasional lantaran dinilai “menghabisi” bangsa yang sudah lama tidak memiliki tanah ini.
Akan tetapi, tampaknya Turki harus memutar otak dengan keras bahwa diplomasi lebih baik ketimbang berperang. Setidaknya, kesan ini yang bisa dilihat dari upaya Turki “merayu” Iran.
Meskipun hubungan keduanya dingin akibat konflik Suriah, Teheran tampaknya tidak keberatan dengan rayuan Ankara.
"Ini pertanda bahwa Turki telah berputar haluan dengan mencairkan hubungan diplomatiknya dengan Iran," kata analis politik, Salman Rafi Sheikh untuk New Eastern Outlook, seperti dikutip situs Sputniknews, Senin, 21 Maret 2016.
Kedua negara, kata Sheikh, telah menekankan bahwa mereka ingin meningkatkan kerja sama di berbagai bidang termasuk ekonomi, energi, dan keamanan. Ia mengatakan, Turki butuh Iran untuk alternatif pemenuhan kebutuhan sektor minyak dan gas.
Selain itu, Ankara berharap bahwa Teheran dapat membantunya menyelesaikan masalah Kurdi. Karena, kedua negara akan melakukan segala upaya untuk mencegah kelompok etnis dari mendirikan negara Kurdistan.
Tidak menjamin awet
"Iran yakin bahwa Turki telah kehilangan pengaruh dalam perang di Suriah. Dan, mereka sedang membangun babak baru kebijakan luar negeri saat ini," kata Sheikh.
Dari sisi ekonomi, ia mengungkapkan, kedua negara ingin membuka akses lebih besar ke pasar. "Pengusaha Turki melihat Iran seperti Eropa, yang pangsa pasarnya terbuka luas untuk berinvestasi lebih banyak," paparnya.
Kendati demikian, Sheikh memperingatkan bahwa diplomasi ini, kemungkinan besar akan berakibat dengan apa yang dinamakan “pernikahan singkat namun rapuh”, yang bisa dengan mudah hancur karena perubahan geopolitik tertentu.
"Mengapa saya mengatakan begitu, karena Turki sedang dihimpit masalah. Jadi, mereka seperti terpaksa putar haluan dengan mendekati Iran. Dalam jangka pendek tak masalah. Namun, untuk jangka panjang, saya kira masih belum," kata Sheikh, seraya mengingatkan.
Awal Maret ini, Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu melakukan kunjungan resmi ke Iran. Pernyataannya terhadap kondisi Suriah yang dinilai “adem” jelas dimaksudkan untuk memperbaiki hubungan dengan Teheran.
"Kami tidak ingin Suriah dibagi menjadi negara-negara kecil. Untuk itu, kami mencapai kesepakatan dengan Iran bahwa disintegrasi tidak akan terjadi dan Suriah akan terus hidup sebagai negara kuat," ungkap Davutoglu.
Sementara itu, Sabtu lalu, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, selama kunjungan satu hari ke Istanbul.
Dalam pertemuan itu, Zarif menyebut Turki sebagai “tetangga yang sangat penting”. Ia juga menambahkan jika pejabat tinggi Iran membawa pesan khusus soal hubungan dengan Turki.