Amerika Puncaki Peringkat Teratas Penembakan Massal di Dunia

Dua jurnalis AS jadi korban penembakan massal
Sumber :
  • REUTERS/Chris Keane

VIVA.co.id - Seorang kriminolog dari Universitas Alabama, Adam Lankford, menyebut Amerika Serikat menjadi negara teratas dalam hal jumlah penembakan massal yang terjadi dalam 50 tahun terakhir.

Berdasarkan hasil studi yang dipaparkan pada pekan ini di pertemuan tahunan Asosiasi Sosiolog Amerika, terdapat 291 kejadian penembakan massal di seluruh dunia yang berhasil mereka catat antara tahun 1966 dan 2012. 

Dikutip dari laman Yahoo News, Kamis, 27 Agustus 2015, sebanyak 90 kejadian atau 31 persen di antaranya terjadi di Negeri Paman Sam. Sementara itu, di peringkat kedua diduduki oleh Filipina dengan 18 kejadian penembakan. 

Di bawahnya terdapat Rusia dengan 15 kejadian penembakan, 11 penembakan di Yaman, dan 10 aksi serupa di Prancis. Kemudian, banyak yang bertanya mengapa begitu banyak terjadi kejadian penembakan massal di AS? Dalam analisis Lankford, terdapat beberapa faktor. 

Pertama, tingginya rating tingkat kepemilikan senjata. Kedua, mengidolakan beberapa pelaku penembakan massal di AS dan terakhir, sisi gelap eksepsionalisme Amerika. 

Faktor unik yang mendorong banyaknya aksi penembakan massal di AS, menurut Lankford, karena kebudayaan membawa senjata di sana. Berdasarkan data yang dikutip dari hasil studi, ada sekitar 88,8 senjata api per 100 orang yang bermukim di AS. Data itu dikutip tahun 2007. 

Angka itu bahkan lebih tinggi dari kepemilikan senjata oleh warga di Yaman yakni 54,8 senjata api per 100 orang.

"Karena tingginya rating kepemilikan senjata api di dunia, maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari Amerika. Maka tak heran jika faktor itu terkait tingginya persentase penembakan massal," papar Lankford. 

Selain itu, pelaku penembakan massal di AS 3,6 kali memiliki senjata untuk melindungi diri mereka sendiri. Bahkan, mereka memiliki beberapa senjata dalam melakukan aksinya. 

Faktor lainnya yang ditulis oleh penulis buku berjudul: "The Myth of Martyrdom: What Really Drives Suicide Bombers, Rampage Shooters, and Other Slef-Destructive Killers" yakni para pelaku ingin menjadi tenar. Obsesi kebudayaan warga AS terhadap ketenaran jelas memainkan sebuah peran. 

"Ketenaran dianggap sebagai sebuah penghormatan dari orang lain dan trennya cenderung meningkat. Beberapa pelaku penembak massal menyerah dalam delusi yang buruk dan mencari popularitas dengan cara membunuh," kata dia. 

Satu-satunya cara yang dipercayai supaya nama mereka terpampang di berbagai media seperti televisi, surat kabar, dan majalah, yakni dengan membunuh orang baik itu pria, wanita atau anak-anak. Hal itu dikombinasikan dengan kegagalan mengejar mimpi Amerika.

Intelijen AS Sebut Anggota ISIS Makin Berkurang
Akhirnya mendorong orang-orang yang memiliki isu kesehatan jiwa untuk melakukan tindak kekerasan massal. 

Jelang Akhir Jabatan, Obama Kunjungi Masjid di AS
"Itu merupakan tema yang umum. Mereka memiliki aspirasi tinggi dan ketika mereka berjuang, mereka juga mencari orang lain untuk disalahkan," Lankford menjelaskan. 

Ini Penyebab Trump Kalah dalam Kaukus Iowa
Oleh sebab itu, penembakan massal kerap terjadi di sekolah dan tempat kerja. 

"Ada perasaan dilecehkan atau diperlakukan secara diskriminatif. Pelaku kerap menyalahkan atasan, guru, sesama pelajar atau rekan kerja atas sistem yang dicurangi," kata dia. 

Sementara itu, terulang lagi kejadian penembakan massal, membuat Presiden Barack Obama kian jengkel. Sebab, dia dipaksa harus kembali mengeluarkan seruan baru untuk isu seperti itu. 

"Saya harus membuat pernyataan semacam ini berulang kali. Masyarakat harus tahan menghadapi tragedi seperti ini berulang kali," kata Obama. 

Semua warga AS tahu dengan fakta, warga tak berdosa terbunuh, sebagian karena seseorang ingin menyebabkan orang lain bahaya dengan mudah bisa memperoleh senjata. Obama pun mengajak seluruh warga AS untuk mencari solusi dari masalah tersebut. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya