Benarkah Bom Atom yang Memaksa Jepang Menyerah?
- REUTERS/Thomas Peter
VIVA.co.id - Jepang mengulang seruan untuk dimusnahkannya senjata nuklir dari dunia, dalam peringatan 70 tahun serangan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Hawa kematian dan kehancuran, dampak ledakan senjata pemusnah massal di dua kota itu, menjadi peringatan tentang ancaman yang luar biasa mengerikan, sebagai akibat penggunaan senjata nuklir.
Seperempat juta manusia tewas sebagai akibat langsung dan tidak langsung, dua ledakan bom atom yang segera disusul dengan berakhirnya Perang Dunia II, ditandai menyerahnya Jepang pada Sekutu.
Dikutip dari situs berita boston.com pada Minggu, 9 Agustus 2015, selama tujuh dekade publik Amerika Serikat (AS) menerima satu versi cerita, seputar kekalahan dan menyerahnya Jepang tanpa syarat.
Nazi Jerman menyerah lebih dari tiga bulan sebelum bom atom Hiroshima dan Nagasaki, hingga seolah masuk akal untuk menyebut tidak ada lagi harapan bagi Jepang, untuk memperoleh kemenangan.
Tapi sejarawan yang sangat dihormati dari Universitas California, Tsuyoshi Hasegawa, mengatakan bukan bom atom Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Jepang menyerah.
Setelah bertahun-tahun pertempuran di Pasifik, angkatan laut dan udara Jepang dihancurkan, produksi peralatan perang tersendat, Jepang tidak mampu menyaingi industri militer AS, dan rakyatnya kelaparan.
Invasi berskala penuh ke Jepang akan menyebabkan kehancuran lebih besar, tapi para pemimpin jepang disebut tetap menolak untuk menyerah. "Hasegawa merubah pemikiran saya," kata Richard Rhodes, penulis "The Making of Atomic Bom."
Pada tesis Hasegawa, deklarasi perang Uni Soviet yang sesungguhnya memaksa Jepang menyerah. Operasi Downfaall yang dirancang AS, adalah rencana invasi dengan mengerahkan lebih dari 700.000 pasukan ke Kyushu.
Dipastikan bakal terjadi pembantaian besar-besaran, jika itu terlaksana. Tapi militer Jepang terdiri dari para pejuang, yang selain terlatih juga dikenal disiplin, memiliki tekad bertempur hingga mati.
Banyaknya korban tewas akibat bom Hiroshima, tidak membuat gentar pemimpin Jepang. Fakta yang memperkuat tesis Hasegawa, adalah instruksi untuk meruncingkan bambu, bersiap menghadapi serangan marinir AS di pantai.
Berdasarkan jumlah korban tewas dan dampak strategis, bom atom di Hiroshima tidak lebih buruk dari serangan AS yang menghancurkan 60 kota-kota Jepang, termasuk ibukota Tokyo, dalam beberapa hari serangan pada Maret 1945.
Sebanyak 330 pesawat pembom B-29 dikerahkan untuk menghujani Tokyo dan kota-kota Jepang lainnya dengan ribuan ton bom, menewaskan sedikitnya 100.000 jiwa dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.
Jika hancurnya ibukota tidak membuat Jepang menyerah, maka tidak juga dengan hancurnya Hiroshima dan Nagasaki. Semangat pemimpin dan militer Jepang tetap berjuang melawan hingga akhir.
Hasegawa dan beberapa ahli sejarah lainnya, menunjukkan bahwa para pemimpin Jepang sangat sadar dengan posisi sulit mereka, tapi mereka masih berharap pada upaya meyakinkan Uni Soviet yang sebelumnya bersikap netral di panggung Asia.
Mereka menghitung jika Stalin, mungkin bersedia menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan, melalui pertukaran wilayah di Asia. Hingga Soviet akhirnya mengikuti keinginan AS, untuk mendeklarasikan perang pada Jepang, 8 Agustus 1945.
Strategi Jepang runtuh seketika, setelah serangan mendadak dilakukan Tentara Merah terhadap tentara Jepang di Manchuria. Sulit bagi Jepang mempertahankan sistem kekaisaran, dengan invasi komunis Soviet.
Keputusan yang dibuat kemudian, berdasarkan pertimbangan bahwa lebih baik menyerah pada Washington daripada Moskow. Benar atau tidak tesis Hasegawa, masih dapat diperdebatkan.
Tapi perdebatan tidak sekaligus, dapat mengeliminasi fakta bahwa senjata nuklir adalah ancaman mengerikan, yang tidak semestinya boleh dipergunakan lagi.