Akhirnya Temukan Jalan Rusak di China
VIVA.co.id - Dari Jakarta, kami terbang ke Beijing dengan terlebih dulu transit di Bandara Guangzhou, kota terbesar di Tiongkok selatan. Setelah dengan terburu-buru mencari terminal domestik untuk berganti ke pesawat jurusan domestik Guangzhou-Beijing, kami harus pasrah menerima nasib pesawat yang akan kami tumpangi mengalami delay.
Informasi pertama yang kami peroleh, delay hanya sekitar dua jam dari jadwal semula. Kami, tiga jurnalis dari Indonesia, mencoba menikmati keadaan dengan berjalan-jalan di bandara yang memiliki enam terminal tersebut. Meski megah, sayangnya fasilitas wifi gratis bandara ini hanya bisa untuk pengguna nomor telepon lokal, sebuah kebijakan yang aneh mengingat bandara ini merupakan salah satu pintu masuk utama ke Tiongkok.
Dan dua jam tersebut berlalu, informasi soal delay pun sulit diperoleh karena keterbatasan Bahasa Inggris para petugas yang berjaga di pintu keberangkatan. Namun berkat perbincangan dengan penumpang lain, diketahui pemicu delay adalah cuaca buruk. Memang, sejak mendarat, hujan tak berhenti turun di bandara ini.
Akhirnya, setelah mundur tiga jam lagi, pesawat menuju Beijing mengudara. Alhasil, kami sampai di Ibu Kota Tiongkok pada dini hari menjelang subuh. Butuh nyaris empat jam terbang ke Beijing, sedikit lebih singkat daripada Jakarta-Guangzhou.
Dari bandara, kami dijemput pegawai dari Kementerian Luar Negeri China dengan sebuah bus. Meski dini hari, jalanan Beijing masih terlihat ramai. Mungkin musim panas membuat warga dari kota berpopulasi sekitar 20 jiwa ini masih beraktivitas sampai dini hari.
Paginya, saat sarapan di hotel, kami berjumpa seorang jurnalis senior dari Indonesia juga yang juga ikut diundang pemerintah China. Ternyata jurnalis ini sudah lebih dulu tiba di China, namun terbang melalui Shanghai. Dari Shanghai, menaiki kereta api cepat menuju Beijing.
"Dihitung-hitung, lebih efisien naik kereta api cepat, karena tak perlu check in, lewati imigrasi, belum lagi jika bandaranya jauh di pinggir kota," katanya. "Belum lagi, kemungkinan delay kecil."
Dengan pesawat, Shanghai-Beijing hanya sekitar 2 jam perjalanan. Sementara dengan kereta api cepat, waktu tempuh kurang dari lima jam. Namun, posisi stasiun di tengah kota, tak perlu lewati pemeriksaan rumit seperti di bandara dan tak perlu antre panjang hanya untuk check in.
Infrastruktur Jadi Kunci
Profesor dari Universitas Peking, Fan Gang, menyatakan, infrastruktur menjadi kunci China melipatgandakan permintaan dan dengan begitu meningkatkan produktivitas.
"Salah satu dari dasar penilaian kita adalah siapa yang bisa menciptakan permintaan akan memenangi inisiatif di ekonomi masa depan," kata Direktur Institut Pembangunan China itu dalam tulisannya "The Twelfth Five-Year Plan and the Megatrend of Urbanization" yang terdapat dalam buku "Where is China Going" yang diterbitkan tahun 2012.
Infrastruktur konstruksi bersama infrastruktur perkotaan dan pembentukan formasi kota-kota akan mendorong mesin permintaan ekonomi. Investasi infrastruktur ini meliputi seperti kereta bawah tanah, kereta cepat, dan perumahan. Pengembangan infrastruktur ini menjawab syarat mendasar bagi industrialisasi untuk membangun permintaan, yaitu urbanisasi.
Ekonom China Wu Jinglian, dalam buku yang sama, menyatakan, perubahan ekonomi China sejak era keterbukaan yang dicanangkan Deng Xiaoping 1980-an lalu, bersandar pada empat pendekatan. Pertama, mendorong urbanisasi para pekerja pedesaan ke perkotaan untuk mencari pekerjaan di bidang nonpertanian.
Kedua, meningkatkan kemampuan industri pemrosesan dan manufaktur dan mengembangkan industri manufaktur modern. Ketiga, mempercepat pembangunan industri jasa. Dan keempat, mewujudkan integrasi informatisasi dan industrialisasi dan mengubah keseluruhan ekonomi nasional dengan teknologi informasi.
Kebijakan mendorong urbanisasi membuat kota-kota besar China dipenuhi anak-anak muda. Kota-kota favorit umumnya di pantai timur China di mana infrastrukturnya juga relatif lebih baik daripada di pedalaman China. Daerah Otonom Uygur Xinjiang yang terletak di paling barat jelas masih kalah jauh dibandingkan provinsi lain di pantai timur China.
"Kami ini adalah termasuk less developed (tertinggal-red) di China," kata Kepala Kantor Urusan Luar Negeri Xinjiang, Wu Guangrong, saat menjamu delapan jurnalis dari Indonesia dan Malaysia di kantornya.
Namun meski tertinggal, infrastruktur Xinjiang mulai dibenahi habis-habisan. Sejak tiba di Bandara Urumqi, Ibu Kota Xinjiang, kami selalu melintasi jalanan mulus yang sebagian besar melayang. Lampu-lampu jalan yang LED mewarnai perjalanan kami menuju hotel.
Akhirnya
Lalu apakah ada jalan yang rusak di Xinjiang? Tentu ada.
Pertama kali menemukan jalan rusak, ketika kami bepergian 600 kilometer dari Urumqi dengan terlebih dulu menaiki pesawat jenis Bombardier ke kota Altay, sebuah kota di dekat perbatasan China dengan Rusia dan Mongolia.
Dari Altay, kami menempuh jalan darat sejauh 200-an kilometer menuju cagar Alam Danau Kanas yang berbatasan dengan wilayah Mongolia dan Rusia sekaligus. Dua pertiga perjalanan benar-benar nikmat; jalan rata, tak seberapa mendaki, dan pemandangan sabana diselingi perkebunan bunga matahari di kiri dan kanan jalan.
Akhirnya, jalan rusak kami temukan di sebuah jalan berliku di pegunungan yang berbatu-batu. Menurut pegawai Kemenlu China yang menemani kami, jalan ini memang setiap musim dingin akan rusak namun meski musim panas sudah datang, pemerintah belum sempat memperbaiki. Jalan rusak ini tak seberapa, hanya beberapa meter.
Dan jalan rusak tak seberapa ini jelas tak sebanding untuk mengalahkan keindahan Cagar Alam Danau Kanas yang kami kunjungi. Bus yang kami tumpangi bisa meliuk-liuk sampai ke pinggang bukit di cagar alam. Mulus, tanpa hambatan.
-----
Arfi Bambani Amri adalah jurnalis VIVA.co.id yang diundang pemerintah China berkunjung ke Beijing dan Xinjiang. Arfi berada di Tiongkok antara 28 Juli 2015 sampai 6 Agustus 2015.