Marty Natalegawa: Hubungan RI-Australia Kini di Titik Nadir
Senin, 29 Juni 2015 - 16:11 WIB
Sumber :
- Reuters/Beawiharta
VIVA.co.id
- Mantan Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, mengatakan hubungan Indonesia dan Australia kini sedang berada di titik nadir. Menlu yang menjabat di era pemerintahan Presiden SBY itu meyakini kini tidak ada lagi komunikasi pribadi yang dilakukan kedua pemerintah.
Harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Senin, 29 Juni 2015 melansir, seburuk itulah kerusakan hubungan kedua negara yang tak disangka sebelumnya. Marty menyebut Indonesia dan Australia juga pernah mengalami masa-masa sulit, tetapi saat itu dia meyakini masih ada komunikasi.
"Saya yakin hubungan Indonesia-Australia kini berada di titik nadir. Sebenarnya dari pengalaman saya di masa lalu, jika kami menghadapi krisis, maka komunikasi justru akan kian diintensifkan. Saya tak yakin apakah masih ada komunikasi yang sedang berjalan baik yang dilakukan secara tertutup atau terbuka," kata Marty ketika diwawancarai stasiun berita Sky News.
Mantan Dubes RI di PBB itu menyerukan agar dilakukan dialog di antara dua negara yang bertujuan agar lebih adil dalam membagi beban arus pencari suaka. Dia menambahkan sebagai negara transit, Indonesia tak ingin melihat Negeri Kanguru mengenalkan atau mendorong faktor pendorong apa pun. Tetapi, masalah tersebut tidak bisa diserahkan begitu saja ke Indonesia seorang diri.
"Saya berharap dua pemerintah saat ini kendati memiliki pandangan yang berbeda, bisa mengintensifkan komunikasi mereka karena sebagai negara tetangga, kami harus akur dan mencari solusi bersama," Marty menambahkan.
Dia mengaku sedikit khawatir ada sedikit diskonektivitas saat ini. Marty mengingatkan agar hubungan kedua negara tidak terus merenggang.
Komentar ini menurut SMH menjadi sinyalemen buruk bagi pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott yang sebelumnya pernah menyatakan dalam kebijakannya nanti akan lebih mendekatkan diri ke Jakarta ketimbang ke Jenewa. Hubungan Indonesia dan Australia sudah memburuk sejak Abbott berkuasa.
Mulai dari tahun 2013 lalu, ketika terkuak skandal penyadapan oleh badan intelijen Australia yang menyadap pembicaraan telepon mantan Presiden SBY, kebijakan keras Abbott untuk mendorong perahu pencari suaka kembali ke perairan Indonesia dan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, RI tetap mengeksekusi mati dua gembong narkoba, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Yang terbaru, Australia diduga telah menyuap sindikat penyelundup manusia senilai masing-masing US$5.000 atau setara Rp66 juta.
Menlu Australia, Julie Bishop, belum kembali memulai kontak formal dengan Menlu Retno Marsudi, sejak kedua warga Negeri Kanguru dieksekusi. Padahal, Dubes Paul Grigson yang sebelumnya telah dipanggil pulang, sudah kembali menempati posnya di Jakarta.
Komentar Marty berbarengan dengan pernyataan pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten, tidak membantah kemungkinan akan mengadopsi kebijakan dorong perahu. Dia bertekad untuk memastikan tak akan ada lagi jalur laut antara Pulau Jawa dan Christmast, sehingga dijadikan celah bagi sindikat penyelundup untuk mengirim orang ke tengah laut dan tenggelam. (one)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Saya berharap dua pemerintah saat ini kendati memiliki pandangan yang berbeda, bisa mengintensifkan komunikasi mereka karena sebagai negara tetangga, kami harus akur dan mencari solusi bersama," Marty menambahkan.