Kisah Imigran Ilegal Bayar Rp53 Juta untuk ke Negeri Impian
Jumat, 19 Juni 2015 - 09:39 WIB
Sumber :
- Reuters
VIVA.co.id
- Imigran ilegal asal Sri Lanka tengah duduk di sebuah hostel di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia bingung mengapa bisa terdampar di Kepulauan Rote dan bukannya di Selandia Baru seperti keinginannya.
Harian Sydney Morning Herald (SMH), Kamis, 18 Juni 2015 melansir, padahal dia telah membayar biaya yang tak murah untuk bisa menuju ke Selandia Baru. Kepada sindikat penyelundup manusia, dia membayar US$4.000 atau setara Rp53 juta agar bisa kabur dari Sri Lanka dan membangun mimpi baru di Wellington.
Tetapi, semua rencananya tak berjalan mulus. Kapal reyot yang dia tumpangi bersama 64 imigran ilegal lainnya malah dicegat oleh Angkatan Laut Australia dan didorong balik ke perairan Indonesia.
Dia mengaku sempat khawatir ketika harus kembali ke perairan di Indonesia. Kayuran sempat cemas ketika didorong balik ke sebuah area yang tak dia kenal.
Ketika melihat dari kejauhan sebuah pulau di Indonesia, Kayuran khawatir masih terdapat penduduk yang kanibal.
"Karena kami begitu jauh, sehingga tak bisa melihat apakah mereka penduduk yang modern atau warga lokal kanibal, jadi kami sangat takut," kata Kayuran.
Kayuran berada di dalam kapal reyot itu bersama dengan istrinya yang tengah hamil, V. Nadhiya dan beberapa wanita serta anak-anak. Para wanita di dalam kapal terus menangis karena takut. Mereka mencoba untuk berteriak meminta tolong tetapi tidak bisa karena kapal dalam posisi miring.
Kayuran mengenang di dalam kapal hanya ada cokelat dalam porsi kecil dan air.
"Ini tidak cukup. Jika kami terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni, kami kemungkinan telah mati," kata Kayuran.
Cokelat dan air itu diberikan oleh Angkatan Laut Australia ketika kapal mereka dicegat oleh kapal HMAS Wollongong. Kemudian, petugas Bea Cukai memindahkan 65 imigran ilegal itu ke dua kapal lainnya.
Sementara itu, bagi istrinya, yang tengah hamil tiga bulan, harus menggunakan toilet apabila ingin buang air kecil dan besar. Kayuran harus menutupi istrinya dengan sebuah seprai.
Tetapi, bahan bakar tidak cukup sehingga kapal menabrak karang. Penduduk Desa Landau, Kupang, kemudian membantu untuk menyelamatkan puluhan imigran ilegal itu.
Bayangan Kayuran mengenai sosok warga lokal yang kanibal hilang, karena penduduk Landu begitu baik. Kendati mereka miskin, tetapi, mereka memasak dan bahkan menyediakan pakaian untuk puluhan imigran ilegal.
"Mereka makan ayam dan babi," kata Kayuran.
Dia mengaku tak habis pikir mengapa AL Australia dan pejabat Bea Cukai mengirimkan mereka kembali ke Indonesia. Padahal, mereka masih berada di perairan internasional. Kayuran mengatakan mereka tak berniat pergi ke Australia.
Tujuan Kayuran dan puluhan imigran ilegal lainnya yakni menuju ke Selandia Baru. Mereka menyadari Negeri Kanguru telah menutup wilayah perbatasannya pada 2013. Tetapi, mereka membaca dari internet, Selandia Baru memiliki kuota bagi pencari suaka sebanyak 750 orang per tahun.
Kayuran berharap bisa membangun kehidupan baru di Selandia Baru, di mana dia bisa bekerja secara legal dan membentuk keluarga.
Senada dengan Kayuran, imigran ilegal asal Bangladesh, Mohammed Belayer Hossain, mengaku mimpinya hancur. Belum lagi uangnya sudah habis untuk diserahkan kepada sindikat pencari suaka.
"Saya sangat sedih. Uang saya telah habis. Saya tidak mengerti mengapa Australia mencegat kapal kami. Mereka seharusnya membiarkan kami pergi," kata Mohammed.
Sementara itu, warga Bangladesh lainnya, Nazmul Hassan dan Muhammad Habib melihat salah seorang pejabat Australia yang dipanggil "Agus" memberikan amplop berisi uang kepada kapten kapal yang mereka tumpangi, Yohanis Humiang dan kru.
"Kami melihat kru meletakkan sesuatu di dalam saku bajunya. Uangnya berada di dalam amplop putih," kata Hassan.
Hassan menambahkan, Yohanis mengatakan kepada imigran ilegal, mereka harus kembali ke Indonesia dan Australia akan membiayai perjalanan itu.
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
"Kami melihat kru meletakkan sesuatu di dalam saku bajunya. Uangnya berada di dalam amplop putih," kata Hassan.