Politikus Australia Bantah Bayar Sindikat Pencari Suaka

Bill Shorten, pemimpin oposisi Australia
Sumber :
  • Reuters/ Tyrone Siu
VIVA.co.id
- Pemimpin Partai Buruh, Bill Shorten, membantah partainya pernah ikut membayar sindikat pencari suaka untuk mendorong perahu kembali ke perairan Indonesia, ketika masih berkuasa di pemerintahan selama enam tahun. Kendati begitu, Shorten mengakui ketika Buruh berkuasa, mereka pernah berbuat kesalahan. 

Laman News Corporated, Selasa, 16 Juni 2015, melansir kesalahan yang dimaksud yaitu Partai Buruh telah memperkenalkan kebijakan yang mengizinkan para sindikat penyelundup manusia untuk mengambil keuntungan dari kemurahan hati pemimpin Australia. 

"Saya diinformasikan Partai Buruh tidak membayar sindikat penyelundup manusia untuk membalikkan perahu. Tetapi, kami berbuat kesalahan di bidang ini dan telah memperoleh hikmah dari pelajaran yang mahal itu di masa lalu," kata Shorten. 

Sebelumnya, partai koalisi dan Partai Hijau menentang solusi yang coba ditawarkan oleh Partai Buruh untuk menyelesaikan pencari suaka. Program yang diberi nama "Solusi Malaysia" itu berisi kesepakatan untuk mengirimkan pencari suaka yang tiba dengan menggunakan perahu ke Malaysia. Lalu, sebagai imbalannya, Australia akan menerima para pengungsi yang telah selesai diproses di negara-negara Asia. 

"Kami ingat ketika Partai Liberal dan Hijau bersama-sama mengajukan voting untuk menentang solusi tersebut. Akibat kekecauan yang disebabkan oleh pemerintah ini, maka Perdana Menteri harus membantah mereka telah membayar sindikat penyelundup manusia," tegas Shorten. 
Politikus Australia Dinilai Munafik Soal Bayar Penyelundup

Tetapi, Shorten menolak berkomentar mengenai laporan sumber intelijen yang menyebut aksi pembayaran sindikat penyelundup manusia itu telah berlangsung selama empat tahun. Sementara, pemerintahan saat itu dipimpin oleh orang-orang dari Partai Buruh. 
DPR: Australia Tak Jawab Pertanyaan RI, Mereka yang Rugi

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Julie Bishop dan Menteri Imigrasi, Peter Dutton setelah pada pekan lalu keduanya kompak membantah telah membayar masing-masing kru kapal pencari suaka senilai AUD$5.000 atau setara Rp51 juta. Kini, keduanya memilih untuk tak berkomentar mengenai operasi perbatasan. 
Dituduh Tak Becus Jaga Perbatasan, Ini Jawaban RI

Akibat penolakan dari para politis menimbulkan spekulasi bahwa badan intelijen Australia, ASIS turut serta dalam pembayaran sindikat penyelundup manusia tersebut. Hal tersebut dikhawatirkan telah berlangsung selama bertahun-tahun. 

Partai Buruh terus menggunakan isu ini untuk menekan pemerintahan Partai Liberal, walaupun di saat yang bersamaan muncul tuduhan Buruh pun juga melakukan perbuatan yang sama ketika masih berkuasa. Juru bicara imigrasi dari Partai Buruh, Richard Marles membantah keras partainya pernah membayar sindikat penyelundup manusia. 

Walaupun di saat yang bersamaan dia memperingatkan pemerintah bahwa pemerintah atau oposisi tak boleh membocorkan rahasia negara menyangkut keamanan atau informasi intelijen. 

Sementara, kendati didesak oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan jawaban, Abbott masih terus menolak untuk mengklarifikasi peristiwa itu. Dia kembali mengulangi pernyataan sebelumnya mengenai komitmen Pemerintah Australia untuk menghentikan perahu tiba di daratan Negeri Kanguru. 

"Sekali lagi, satu-satunya hal yang benar-benar layak disampaikan di sini yaitu kami telah menghentikan perahu. Hal yang paling penting yang dapat Anda lakukan di sini yaitu menghentikan perahu," kata Abbott. 

Dia menambahkan, Pemerintah Australia akan melakukan apa pun yang sesuai dengan aturan hukum dan standar mereka untuk menghentikan perahu pencari suaka. 

"Saya sangat yakin setiap saat badan-badan Australia selalu bertindak sesuai dengan aturan hukum. Saya sepenuhnya mendukung semua tindakan yang diambil oleh para Menteri saya," Abbott menambahkan. 

Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya mengatakan jika Australia betul melakukan pembayaran terhadap sindikat penyelundup manusia, maka itu sama saja menyuap dan bahkan mendukung aksi perdagangan manusia. (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya