KontraS: Indonesia Bisa Dibawa ke Mahkamah Internasional
- REUTERS/Handout via Reuters
VIVA.co.id - Ada kesempatan untuk membawa Indonesia ke Mahkamah Internasional, terkait dengan adanya cacat dalam proses hukum terhadap terpidana mati, Rodrigo Gularte. Warga negara Brasil itu kini tengah menunggu waktu untuk menghadapi regu tembak.
Gularte ditangkap pada 2004 di Jakarta, karena dituduh berusaha menyelundupkan heroin, yang disembunyikan dalam papan seluncur. Dia sebenarnya ditangkap bersama dua warga Brasil lainnya, yang kemudian dilepas.
Gularte yang telah menderita gangguan kejiwaan sejak usia 16 tahun, mengaku bahwa papan seluncur itu miliknya. Sehingga hanya dia seorang yang akhirnya ditahan, lalu divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Sejak awal persidangan hingga dijatuhkannya vonis hukuman mati, tidak ada kuasa hukum yang mendampinginya. Tidak juga bahkan penerjemah bagi pria yang tidak dapat berbahasa Inggris dan Indonesia itu.
"Iya, cacat hukum," kata Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Kamis, 5 Maret 2015. Proses peradilan bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Pasal 56 ayat (1) berbunyi: "Bagi yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih bagi yang tidak mampu,maka pejabat yang bersangkutan wajib menyediakan Penasehat Hukum secara cuma-cuma."
Sementara pasal 53 ayat (1) menegaskan jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji, akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Penekanan pada pengaturan di pasal 56 itu adalah kata wajib, yang artinya proses pengadilan cacat hukum jika tidak mematuhinya. Haris menambahkan adanya pengaturan tentang seseorang yang menderita masalah mental.
Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebut: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”
Tidak ada upaya pengadilan untuk memeriksa kesehatan mental Gularte saat itu. Sehingga ada banyak pelanggaran hak-hak tersangka yang terjadi selama persidangan, membuat putusan pengadilan dinilai cacat hukum.
Haris menegaskan bahwa pemerintah Indonesia wajib memastikan, bahwa terpidana terpenuhi hak-haknya. "Ada kesempatan untuk membawa Indonsia ke Mahkamah Internasional, untuk menyelesaikan sengketa hukum antar negara," kata Haris.
Deklarasi Universal HAM pada 10 Desember 1948, yang juga mengikat Indonesia sebagai anggota PBB, telah mengatur adanya jaminan untuk dipenuhinya hak-hak itu, yang bisa menjadi dasar menuntut pemerintah Indonesia.
Pasal 8 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten, untuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.
Penyelesaian sengketa hukum di Mahkamah Internasional, dapat terjadi apabila terdapat pengaturan hukum yang berlaku di kedua negara. Di dalam hal ini, pemenuhan hak-hak tersangka juga telah tertera sebagai kewajiban dalam KUHAP.
Harus diingat bahwa masalah pelanggaran hak seorang tersangka dalam proses peradilan, bukan hanya terjadi pada warga negara asing, namun terutama adalah pada warga Indonesia.
Haris mengatakan bahwa dia dan banyak aktivis HAM, telah berusaha meminta badan terkait seperti Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusional, untuk memperhatikan masalah itu.
"Masalahnya tidak ada yang mau menyelesaikannya," ujar Haris. Dia menambahkan, sejauh ini hakim berlindung menggunakan dalih independensi hakim, tidak ada pihak yang mau mengkoreksi diri.
![Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar](https://thumb.viva.co.id/media/frontend/thumbs3/2016/08/03/399080_haris-azhar-tanggapi-pelaporan-tni-dan-bnn_375_211.jpg 640w, https://thumb.viva.co.id/media/frontend/thumbs3/2016/08/03/399080_haris-azhar-tanggapi-pelaporan-tni-dan-bnn_375_211.jpg 1920w)