Pengamat: Islamofobia di AS Dipicu Pemberitaan Media

Muhammad Ali, pengajar studi Islam di Universitas California.
Sumber :
  • VIVAnews/Santi Dewi

VIVAnews -  Pengajar Studi Islam di Universitas California di Riverside, Amerika Serikat, Muhammad Ali, membenarkan Islamofobia atau ketakutan terhadap Islam di Negeri Paman Sam masih ada. Namun, pandangan itu tidak sebesar saat tragedi kemanusiaan 11 September 2001 terjadi.

Demikian ungkap Ali saat ditemui dalam diskusi mengenai Kehidupan Muslim di AS semalam di Pusat Kebudayaan Amerika, Pacific Place, Jakarta Selatan kemarin.

Konser di Jakarta Batal H-1, Padahal Dua Lipa Sudah Tiba di Indonesia

Menurut pria yang sudah tinggal di AS lebih dari satu dekade lalu, salah satu penyebab publik Negeri Paman Sam memiliki persepsi yang keliru soal Islam, karena mereka menyamakan Islam seperti yang ada di Timur Tengah.

"Hal itu mereka lihat melalui media. Mereka tidak tahu, justru negara dengan penduduk Muslim terbesar ada di Indonesia atau di negara lain. Bahkan Islam di AS sendiri mengalami perkembangan yang pesat," kata dia.

Islamofobia menurut dia sudah berlangsung lama. Dalam pandangan Ali, kebanyakan publik AS yang berlatar belakang politik pendukung Republikan yang memiliki pandangan demikian.

"Mereka ingin menjaga faktor ke-Amerikaan dan nasionalisme. Bagi mereka, AS itu protestan sehingga harus dijaga. Mereka justru takut hadirnya orang-orang asing," kata Ali.

Islam masuk ke AS, lanjut Ali setelah Yahudi dan Katolik, sehingga dianggap sebagai ancaman. Hal yang sama sebelumnya juga menimpa Yahudi dan Katolik.

"Mereka ini menganggap imigran sebagai ancaman. Oleh sebab itu, mereka ingin menjaga kemurnian Amerika," kata dia.

Satu fenomena menarik yang dia lihat setelah tragedi kemanusiaan 11 September yaitu, minat warga AS untuk mempelajari Islam sangat tinggi. Bahkan, dia mengaku setiap kelasnya yang mengajarkan Islam selalu penuh.

"Selalu ada mahasiswa dari berbagai agama, termasuk atheis yang tertarik untuk mengambil mata kuliah saya. Di awal kuliah, saya biasanya meminta mereka untuk menulis singkat, apa yang mereka ketahui tentang Islam," ucapnya.

Dan di akhir perkuliahan, mahasiswanya kembali diminta menulis, bagaimana persepsi mereka terhadap Islam setelah belajar di kelasnya.

"Saya terharu, karena sebagian besar mahasiswa saya mendapatkan perubahan pola pikir dan cara pandang terhadap Islam. Bahwa Islam yang mereka ketahui selama ini hanya dari media," ujar Ali.

Sementara, peraih gelar doktor dari Universitas Hawaii Manoa itu, mengatakan sebagaian besar pemilik media di Negeri Paman Sam berkiblat ke Partai Republik yang tidak begitu menyukai kehadiran kaum pendatang.

Oleh sebab itu agar bisa meluruskan pandangan negatif mengenai Islam di AS, Ali meminta agar media menawarkan informasi yang lebih berimbang.

"Tunjukkan bahwa Islam itu majemuk dan tidak identik dengan Arab. Bahwa Islam itu cinta damai dan mengedepankan toleransi," kata dia.

Di AS, imbuhnya, apabila terbukti melakukan penyebaran ajaran kebencian terhadap agama tertentu, maka dapat dibui.

Namun, rilis dari Washington Post berbeda. Dalam tulisan yang diterbitkan tahun 2013 yang mengutip laporan Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), terdapat 37 individu dan institusi yang kerap menyebar Islamofobia di AS dari periode 2011-2012. Dalam laporan itu penurunan hanya terjadi sedikit terhadap individu dan kelompok yang menyebar luaskan paham itu.

"Muslim Amerika menghadapi diskriminasi setiap hari. Islamophobia jelas menjadi ancaman bagi keselamatan Muslim Amerika,"  ujar Direktur Eksekutif Nasional CAIR, Nihad Awad.

Dia mengatakan ke-37 organisasi itu memiliki dampak yang cukup efektif bagaimana Muslim dipandang di AS. Akhirnya, tingkat Islamophobia kian tinggi.

"Kami akan terus diserang oleh institusi dan individu ini. Tujuan kami mempublikasikan informasi ini untuk memberdayakan orang-orang yang benar-benar peduli terhadap isu ini," kata Nawad. (umi)