- salambue
VIVA.co.id - Publik di Indonesia kembali diributkan dengan upaya Malaysia mempatenkan Gordang Sambilan dan tari Tor-tor khas Batak Mandailing. Upaya Malaysia ini tidak ahistoris, karena mereka memiliki komunitas Mandailing yang kuat di negeri itu.
Menurut Abdur-Razzaq Lubis, seorang pakar Mandailing di Malaysia, orang-orang Mandailing di Semenanjung Melayu datang dari daerah Sumatera Utara yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Mereka eksodus di masa Perang Paderi di abad 19 dulu. Sebagai pengikut Paderi, mereka direpresi kolonial Belanda sehingga terpaksa bermigrasi ke luar dari kampungnya menuju Malaysia.
Dalam makalah berjudul "Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and Divided" yang dipresentasikan dalam Konvensi Internasional Cendekiawan Asia di Kuala Lumpur, Agustus 2007, Lubis menyatakan warga keturunan Mandailing ini merantau ke Malaysia dan Singapura.
Istilah Mandailing sendiri ditemukan dalam Nagarakertagama, sebuah epik yang ditulis di zaman Majapahit sekitar tahun 1365. Mandailing disebutkan sebagai salah satu daerah di bawah kekuasaan Majapahit.
Lubis menyebutkan, ada spekulasi Mandailing berasal dari kata Minangkabau "Mande Hiliang" yang berarti "Ibu Hilang". Jadi menarik, karena Minangkabau bersistem matrilineal, sementara Mandailing hari ini bersistem patrilineal.
Di Nagari Pagaruyung, salah satu negeri tertua di Minangkabau, "Mandahiliang" merupakan salah satu dari tujuh jorong. Mandahiliang juga menjadi salah satu suku (semacam marga) di Minangkabau.
Kedekatan Mandailing dengan Minangkabau ini juga tercermin di perantauan Malaysia. Di semenanjung, orang-orang Mandailing ini awalnya hidup di Negeri Sembilan, satu dari sembilan kerajaan di Malaysia. Raja Negeri Sembilan ini merupakan keturunan raja Pagarruyung di Minangkabau. Mereka bekerja sama erat, selain karena berdekatan kampung, juga sama-sama pengikut Islam yang taat.
Sejarah Pemberontakan
Di Malaysia, orang-orang Mandailing ini dikenal sebagai pembuat masalah. Perang Pahang yang terjadi pada 1857-1863 pecah karena aksi orang-orang Mandailing ini. Bahkan, setelah Perang Selangor, Sultan Abdul Samad mengeluarkan keputusan menyatakan orang Mandailing sebagai tukang onar yang harus dienyahkan sehingga mereka diusir keluar dari negeri itu.
Awalnya, di bawah administrasi kolonial Inggris, Mandailing dikategorikan sebagai "Melayu Asing" lalu menjadi "Melayu Sumatera" dan kemudian "Melayu Mandeling" dan lama-lama menjadi "Melayu" saja. Tahun 1921, istilah Mandailing benar-benar hilang, dilebur ke "Melayu" namun istilah "Orang Aceh", "Orang Batak" dan "Orang Jawa" tetap ada. Kondisi berbeda terjadi di Indonesia, administrasi kolonial justru memasukkan "Mandailing" sebagai bagian dari Batak.
"Sejarah imperialis dan proses pembangunan bangsa telah berdampak pada orang Mandailing dan penyebaran mereka sehingga terbagi atas dua etnis dan identitas budaya; di Indonesia, Mandailing adalah Batak-Mandailing dan di Malaysia, mereka Melayu," kata Lubis.
Gordang Sambilan di Hari Kemerdekaan
Penerimaan Mandailing ke dalam Melayu membuat mereka benar-benar diakui eksistensinya. Dalam artikel Lubis yang lain, "Mandailing-Islam Across Borders" pada tahun 2004, jumlah orang Mandailing di Malaysia lebih dari 30 ribu orang. Mereka tersebar di sejumlah negara bagian seperti Perak, Selangor dan juga Kuala Lumpur, Ibukota Malaysia.
Di perantauan, orang-orang Mandailing membawa kebudayaan mereka. Salah satu yang unik adalah Gordang Sambilan atau Sembilan Gendang.
Di Selangor, orang-orang Mandailing ini berhasil melobi kerajaan untuk menjadikan Gordang Sambilan sebagai alat musik resmi kerajaan. Tahun 2001, Pesta Pulang Pinang di Penang, secara resmi dibuka dengan Gordang Sambilan dan puncaknya, Gordang Sambilan dimainkan di peringatan puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 2002. (umi)