Masalah Baru Korban Tsunami Jepang:Bunuh Diri
- AP Photo/Kyodo News
VIVAnews - Ketakutan dan kemarahan yang melanda penduduk Fukushima, Jepang, usai dihantam tsunami 11 Maret silam rupanya telah menebar ancaman baru: keinginan untuk bunuh diri.
Menurut stasiun berita Channel News Asia, 22 Agustus 2011, tren bunuh diri ini marak di kalangan korban tsunami, yang merasa putus asa setelah kehilangan segalanya. Ada yang bunuh diri karena tidak ingin merepotkan keluarga, takut terkena radiasi, dan merasa tersiksa karena masih bertahan hidup sementara orang yang dicintai telah mati.
"Suami saya adalah pria yang kuat, namun akhirnya ia menyerah pada radiasi," kata Mitsuyo, janda seorang petani bernama Hisashi Tarukawa di Fukushima. "Saya sangat sedih dan sangat menyesal, namun bila dia sekarang sudah damai di surga, saya akan menerimanya," kata wanita berusia 61 tahun ini.
Hisashi bunuh diri karena depresi harta bendanya tersapu tsunami, serta kelewat takut akan adanya ancaman radiasi. Ia menemui ajal dengan cara gantung diri di sebuah pohon, dan jasadnya ditemukan oleh sang anak.
Selama 13 tahun terakhir, ada 30.000 orang yang tewas bunuh diri di Negeri Sakura, seperti dilansir dari stasiun berita Voice of America. Ini adalah angka kematian akibat bunuh diri tertinggi di dunia.
Maraknya bunuh diri pasca tsunami ini jelas memicu kekhawatiran di antara para ahli. "Rasanya tak banyak orang yang berpikir untuk bunuh diri saja setelah tertimpa musibah, karena mereka akan bersyukur karena bisa selamat," kata Hisao Sato, kepala grup konseling dan pencegahan bunuh diri Kumo No Ito.
Khawatir angka bunuh diri akan terus meningkat, Sato berusaha menolong dengan melakukan kunjungan bulanan ke daerah korban tsunami di Kamaishi. Pemerintah Jepang bahkan telah menyediakan tempat khusus untuk pemulihan mental korban tsunami.
Namun para psikiater telah mengingatkan bahwa kunjungan semacam ini tidak akan efektif tanpa adanya dukungan dari orang di sekitar korban. "Dorongan bunuh diri tidak akan menyurut begitu saja. Pemulihan kesehatan jiwa hanya dapat dijalankan bila para korban mendapat dukungan dari sekitarnya, serta perawatan medis yang memadai," kata Shinji Yukita, seorang psikiater.