- dok. Corbis
VIVAnews - Beberapa negara, terutama Amerika Serikat mengusulkan diberlakukannya zona larangan terbang di Libya, menyusul pengeboman jet tempur Libya ke rakyat negeri itu. Namun, keputusan pemberlakuan larangan ini ada di tangan PBB, bukan AS maupun negara lainnya.
Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, menyatakan hal itu seperti dilansir dari laman BBC, Rabu, 9 Maret 2011. Semua tindakan atas Libya, kata Hillary, termasuk zona larangan terbang, adalah hasil kesepakatan komunitas internasional, dan rakyat Libya yang diberlakukan oleh Dewan Keamanan PBB.
“Saya kira sangat penting menggarisbawahi ini bukanlah usaha yang dipimpin AS, karena keputusan ini datang dari rakyat Libya sendiri. Kami kira sangat penting bagi PBB membuat keputusan itu,” ujar Clinton.
Beberapa negara, seperti AS, Inggris, dan Prancis mengeluarkan opsi zona larangan terbang bagi wilayah udara di Libya. Opsi ini digelontorkan menyusul penyerangan jet tempur Libya kepada para demonstran di beberapa kota. Beberapa negara menolak usulan ini, diantaranya Rusia.
Clinton mengatakan saat ini negara-negara Teluk dan Liga Arab telah mendukung opsi ini jika disetujui oleh PBB. “Kami sangat senang mengetahui bahwa negara-negara Teluk dan Liga Arab, yang sebelumnya tidak mendukung langkah ini, berbalik mendukung jika PBB menyetujuinya,” ujar Clinton.
Clinton juga sekali lagi menyatakan sikap AS terhadap keputusan Muammar Khadafi untuk tetap bertahan di posisinya. Dia meminta agar Khadafi turun dengan cara damai, dan memperingatkan krisis Libya semakin parah jika dia tetap tidak mau turun.
“Kami ingin melihat krisis ini diselesaikan dengan damai. Kami ingin melihat dia (Khadafi) turun dengan damai. Kami ingin melihat dibentuknya pemerintahan damai,” ujar Clinton.
“Namun jika itu tidak mungkin, maka kami akan mengupayakannya dengan komunitas internasional,” lanjutnya lagi.
Korban tewas di Libya diperkirakan telah mencapai angka ribuan. Khadafi telah memerintah lebih dari 40 tahun memimpin Libya, menggempur para demonstran menggunakan persenjataan berat. Sebanyak 200ribu orang terpaksa mengungsi ke negara tetangga.
Satu juta orang terdiri warga Libya, dan warga asing, diperkirakan masih terjebak konflik. Berbagai organisasi bantuan telah diturunkan ke lokasi memenuhi kebutuhan logistik para penduduk. Sementara itu, upaya evakuasi dilakukan berbagai negara memastikan keamanan warga mereka.