Hubungan Uni Eropa–China Setelah Tarif Trump Menyeret Eropa ke Tangan Xi Jinping
- freepik.com/tawatchai07
Jakarta, VIVA – Donald Trump telah melepaskan badai perdagangan yang membuat Uni Eropa kelabakan. Tarif yang diberlakukannya—20 persen untuk barang dari UE, 25 persen untuk baja, aluminium, dan mobil—ibarat palu godam yang menghantam ekonomi Eropa. Namun yang lebih parah, jika Eropa tidak segera sadar, kondisi ini bisa menjadikan UE sebagai bawahan geopolitik China.
Seperti dilansir brusselssignal, Rabu 16 April 2025, pada 2023, UE mengekspor barang senilai €503,8 miliar ke Amerika Serikat. Kini, lebih dari €200 miliar di antaranya diperkirakan berada dalam risiko.
Tarif Trump akan menghantam perusahaan-perusahaan Eropa seperti Volkswagen, BMW, Daimler, dan Stellantis di sektor otomotif, sementara raksasa baja dan aluminium seperti Thyssenkrupp, Voestalpine, Acerinox, dan Norsk Hydro juga terkena dampak berat. Tak hanya itu, perusahaan seperti Airbus, Pirelli, merek-merek mewah seperti Hermès dan Prada, perusahaan kimia seperti Covestro dan Arkema, serta Carlsberg dan Repsol, semua bersiap menanggung kerugian. Dan daftarnya terus bertambah.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyebutnya sebagai “pukulan besar” dan menjanjikan tarif balasan sebesar €26 miliar untuk produk bourbon dan daging sapi AS. Kata-kata yang berani, tapi tak sebanding dengan besarnya paparan risiko UE. Perang tarif balasan ini bisa berubah menjadi perang dagang habis-habisan yang membuat ekonomi Eropa berdarah-darah.
Lalu muncullah China, mengintai seperti burung bangkai. Ketika perdagangan UE-AS mulai retak, Beijing melihat peluang emas untuk memperkuat cengkeramannya. Surplus perdagangannya dengan UE sebesar €292 miliar pada 2023 sudah jauh melampaui defisit dengan AS. Tarif Trump sebesar 34 persen untuk barang-barang China kini mengalihkan banjir mobil listrik murah, panel surya, dan baterai ke Eropa. Industri lokal—terutama raksasa otomotif Jerman—kewalahan menghadapi serbuan ini.
Kanselir Jerman Olaf Scholz tampak berjalan di atas pecahan kaca, ketakutan kehilangan perdagangan senilai €250 miliar dengan China. “Kita tak bisa memusuhi Beijing,” keluh seorang pejabat di Berlin. Menyedihkan. Perusahaan-perusahaan China sedang melahap pasar Eropa, dan Scholz terlalu penakut untuk melawan. Beijing tidak sekadar menang, tapi memperkuat ketergantungan Eropa padanya.
Kota Beijing, China.
- Pixabay
Secara politik, ini adalah kekacauan. Tarif Trump memecah UE secara dramatis—Donald Tusk dari Polandia menyebutnya “bodoh”, sementara Emmanuel Macron dari Prancis menyuarakan “otonomi strategis”. Partai-partai nasionalis seperti AfD di Jerman dan Lega di Italia berkembang di tengah kekacauan ini, sementara kelompok kiri kembali mengobarkan sentimen anti-Amerika.
Belum lagi perdagangan China dengan Rusia senilai $244,8 miliar pada 2024, yang secara praktis membiayai perang Moskow. “China tidak netral dalam konflik Ukraina,” kata analis Alicia García-Herrero. Namun Brussel ragu-ragu, terlalu takut untuk menatap mata Xi Jinping. Kebisuan UE terdengar nyaring—dan memalukan.
Inilah skandal sesungguhnya: standar ganda UE. Brussel gemar menunjuk-nunjuk Rusia. Tapi terhadap China? Xi adalah seorang diktator otoriter—kamp Uyghur, penindasan di Hong Kong, sistem kredit sosial, tak ada pemilu—tapi UE bersikap acuh. Mengapa? Karena 55 persen impor teknologi hijau Eropa berasal dari China, yang menopang pasokan energi bersih mereka. “Kita mengutuk Rusia tapi justru membiayai China,” geram seorang anggota parlemen Belanda. Kemunafikan yang murni.
UE sebenarnya punya peluang kecil untuk membebaskan diri. Pertama, bangun kembali industrinya. Tarif Trump bisa menjadi pelajaran bahwa proteksionisme kadang bisa berhasil. Salurkan dana pemulihan sebesar €800 miliar ke sektor baja, teknologi, dan energi murah. Kita perlu mulai memproduksi kembali.
Kedua, lakukan diversifikasi perdagangan. Kesepakatan dagang dengan India, Jepang, atau ASEAN bisa mengurangi ketergantungan UE pada teknologi hijau China. Australia punya cadangan logam tanah jarang—lebih baik ambil dari sana, bukan dari Beijing.
Ketiga, serang China di titik lemahnya. Larang Huawei dari jaringan 5G. Perketat aturan investasi agar China tidak dengan mudah membeli pelabuhan dan teknologi kita. “China memanfaatkan keterbukaan kita,” ujar Tobias Gehrke dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa. Hentikan jadi ‘anak baik’ yang bermain sesuai aturan tapi justru dirugikan.
Ilustrasi bongkar muat mobil di pelabuhan
- Carscoops
Keempat, dan ini syarat utama dari semua langkah di atas: selaraslah dengan AS dalam hal-hal yang penting. Trump benar soal akal-akalan perdagangan China. Gabung dalam dorongan untuk aturan main yang adil, bukan permainan curang ala Beijing. Komisioner Perdagangan UE Maroš Šefčovič memang gagal dalam negosiasinya dengan AS, tapi dia tak salah saat berkata, “Tarif menyakiti semua pihak.” Bekerjalah bersama Washington untuk mengurung China, bukan saling menjatuhkan.
Kaum elite tidak akan suka. Produsen mobil Jerman butuh pasar China dan pembuat anggur Prancis takut kehilangan dana dari Beijing. Scholz dan Brussel masih memegang teguh mimpi globalis mereka, ketakutan menghadapi amarah Xi. Tapi kelangsungan UE bergantung pada keputusan ini. Tarif Trump adalah alarm keras yang membangunkan tidur panjang. Bergantung pada kekuatan otoriter seperti China adalah bunuh diri.
Kita sedang berjalan dalam tidur menuju ketergantungan total pada kekuatan otoriter yang pura-pura dianggap tidak berbahaya. Friedrich Hayek sudah memperingatkan Eropa sejak 1946 lewat bukunya, “The Road to Serfdom”, tentang bahaya terjebak dalam perangkap komunisme. Benua Lama baru terbebas dari penindasan merah pada 1990. Tiga dekade kemudian, bahaya itu kembali, kini dalam bentuk ketergantungan ekonomi.
Amerika dan Rusia terus disalahkan, Xi justru dilepaskan. Sudah cukup. Tinggalkan naga itu, singkirkan elite yang buta arah, dan manfaatkan kesempatan ini. Kembalilah ke energi murah, akhiri permusuhan dengan Rusia, dan mulai produksi lagi—atau lihat Eropa tenggelam. Waktu terus berjalan.