Krisis Pernikahan di China Picu Perdagangan Pengantin Lintas Negara

Ilustrasi pernikahan China.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Xinhua/Ou Dongqu/pras.

Beijing, VIVA – Menurunnya angka pernikahan di China telah menjadi tantangan sosial dan demografis yang besar, dengan dampak luas terhadap perkembangan jangka panjang negara tersebut. Berakar pada kebijakan sejarah seperti kebijakan satu anak dan preferensi budaya terhadap anak laki-laki, ketidakseimbangan gender yang dihasilkan telah menyebabkan jutaan pria tetap melajang. Fenomena ini memperburuk tren yang mengkhawatirkan: meningkatnya permintaan terhadap pengantin hasil perdagangan manusia dari negara-negara tetangga.

Gawat, Kapal Perang Taiwan Tabrak Kapal Ikan China

Dilansir Etruth, Selasa 25 Maret 2025, selama beberapa dekade terakhir, jumlah pendaftaran pernikahan di China anjlok. Pada tahun 2024, hanya 6,1 juta pasangan yang mencatatkan pernikahan mereka, mengalami penurunan tajam sebesar 20% dibandingkan dengan 7,7 juta pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan salah satu penurunan terbesar dalam beberapa dekade. Sejumlah faktor mendorong perubahan ini: beban ekonomi, perubahan norma sosial, dan meningkatnya tingkat pendidikan. Di kalangan perempuan perkotaan, nilai-nilai tradisional tentang pernikahan dan memiliki anak semakin dipertanyakan, menciptakan pergeseran generasi dari konvensi yang dianut oleh pendahulu mereka.

Yang memperparah krisis ini adalah ketidakseimbangan gender yang terus berlanjut. Pada awal 2000-an, rasio kelahiran di China mencapai angka mengkhawatirkan: 121 bayi laki-laki untuk setiap 100 bayi perempuan. Di beberapa provinsi, angka ini bahkan mencapai 130 anak laki-laki per 100 anak perempuan. Ketimpangan ini paling mencolok pada kelompok yang lahir pada tahun 1980-an, akibat kemajuan teknologi USG yang memungkinkan aborsi selektif berdasarkan jenis kelamin, serta norma sosial yang mengutamakan anak laki-laki.

Ketahuan Jadi Mata-mata China, 4 Tentara Taiwan Didakwa Bui

Istilah "pria yang tersisa" digunakan untuk menggambarkan jutaan pria China—diperkirakan mencapai 30 hingga 50 juta pada pertengahan abad ini—yang kemungkinan besar akan tetap melajang akibat ketidakseimbangan demografis ini. Bagi banyak pria, terutama di daerah pedesaan, peluang untuk menikah semakin kecil akibat kesulitan ekonomi dan minimnya jumlah perempuan yang tersedia. Tekanan budaya untuk menikah tetap besar, menciptakan tantangan unik yang dalam wacana China disebut sebagai “kesulitan menemukan pasangan”.

Menghadapi semakin sedikitnya peluang menikah di dalam negeri, sebagian pria beralih mencari pasangan di luar perbatasan nasional. Perubahan ini memicu peningkatan perdagangan perempuan dari negara-negara Asia Tenggara seperti Myanmar, Vietnam, dan Kamboja. Perdagangan ilegal ini memanfaatkan kerentanan yang ada—kurangnya pengawasan di perbatasan, sumber daya kepolisian yang terbatas, serta ketidakstabilan ekonomi di negara asal perempuan yang diperdagangkan.

Trump Pertimbangkan Turunkan Tarif ke China Jika Sepakat Jual TikTok

Bagi perempuan yang diperdagangkan ke China, pengalaman ini sangat menyiksa. Setelah dibawa ke China, mereka dijual kepada keluarga atau langsung kepada pria lajang. Harga yang dipatok bervariasi, mulai dari 3.000 hingga 10.000 dolar AS, tergantung pada usia dan karakteristik yang dianggap menarik. Para pelaku perdagangan manusia dan perantara memperoleh keuntungan besar, sementara para korban sering kali kehilangan kontak dengan keluarga mereka dan terisolasi tanpa dukungan. Hambatan bahasa semakin memperburuk situasi mereka, membuat mereka sulit mencari bantuan atau melarikan diri. Tanpa dokumen legal atau pemahaman tentang hak-hak mereka, perempuan-perempuan ini terjebak dalam siklus eksploitasi.

Ilustrasi pernikahan.

Photo :
  • Pixabay

Beberapa korban bahkan dipaksa melakukan kerja paksa atau dikontrol secara reproduktif, dengan tekanan untuk melahirkan anak laki-laki sebagai pewaris keluarga. Eksploitasi ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga menciptakan pola pelecehan sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia.

Bagi banyak perempuan ini, kehidupan di China penuh dengan penderitaan. Pernikahan paksa sering kali berujung pada kekerasan dalam rumah tangga, isolasi sosial, dan ketergantungan ekonomi. Human Rights Watch telah banyak melaporkan masalah ini, menyoroti kebutuhan mendesak akan tindakan yang lebih tegas. Meski otoritas China berjanji untuk memberantas perdagangan manusia, permintaan tetap tinggi, mencerminkan betapa dalamnya akar permasalahan ini.

Pemerintah China mulai menyadari besarnya dampak krisis demografis ini. Salah satu usulan kebijakan yang muncul adalah menurunkan usia legal pernikahan dari 22 menjadi 18 tahun, dengan harapan dapat meningkatkan angka pernikahan. Namun, langkah-langkah seperti ini tidak menyelesaikan akar permasalahan, seperti meningkatnya biaya hidup, ketidakpastian ekonomi, dan perubahan pandangan generasi muda terhadap pernikahan.

Diperlukan langkah-langkah yang lebih menyeluruh untuk menangani dampak sosial yang lebih luas dari krisis ini. Kebijakan yang mendorong kesetaraan gender—terutama dengan mendukung perempuan dalam pendidikan dan karier—dapat membantu menyeimbangkan norma sosial. Kolaborasi internasional juga sangat penting dalam memberantas jaringan perdagangan manusia dan melindungi komunitas rentan di negara-negara tetangga.

Krisis pernikahan di China, yang diperburuk oleh ketimpangan gender, mencerminkan tantangan demografis yang lebih besar. Menurunnya angka pernikahan menyebabkan angka kelahiran yang lebih rendah, yang pada gilirannya memperburuk masalah populasi yang menua. Dalam dekade mendatang, diperkirakan sekitar 300 juta warga China akan memasuki masa pensiun, yang berpotensi membebani sistem kesejahteraan sosial negara. Kombinasi populasi yang menua dan berkurangnya tenaga kerja dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas dalam jangka panjang.

Selain itu, ketimpangan sosial dapat semakin melebar karena fenomena "pria yang tersisa" terus berlanjut. Jumlah pria lajang yang semakin banyak di daerah pedesaan dapat memicu keresahan sosial serta memperdalam kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Menangani isu ini sangat penting untuk menjaga stabilitas sosial.

Ilustrasi pernikahan.

Photo :
  • Freepik/freepik.diller

Penurunan angka pernikahan di China dan dampaknya yang luas merupakan tantangan kompleks yang membutuhkan tindakan cepat dan terencana. Mengatasi masalah ini tidak hanya memerlukan reformasi untuk memperbaiki ketimpangan demografis, tetapi juga perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Mendorong keseimbangan gender, mengurangi hambatan ekonomi untuk menikah, serta memperkuat kerja sama internasional dalam memberantas perdagangan manusia adalah langkah-langkah krusial yang harus diambil.

Pada akhirnya, bagaimana China menangani dilema demografis ini akan sangat menentukan masa depannya dalam beberapa generasi ke depan. Langkah-langkah yang diambil saat ini berpotensi membentuk kembali struktur sosial negara, memastikan peluang yang lebih adil, dan melindungi kesejahteraan baik pria maupun wanita di dalamnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya