Aset KBRI di Prancis Terancam Disita, Pemerintah Siap Melawan

Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra
Sumber :
  • VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham

Jakarta, VIVA – Aset milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris, Prancis, terancam disita setelah pengadilan setempat mengabulkan permohonan eksekusi dari Navayo International AG.

BPJS Kesehatan Pastikan Kondisi Keuangan 2025 Tetap Sehat

Perusahaan asal Eropa itu mengklaim hak atas properti pemerintah Indonesia sebagai bagian dari sengketa proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) yang telah berlarut sejak 2016.

Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Februari 2025.

Photo :
  • VIVA.co.id/Yeni Lestari
BWI akan Tingkatkan Wakaf bukan Cuma Aset, tapi Bisa Wakaf Uang

Namun, pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa eksekusi tersebut melanggar Konvensi Wina yang melindungi aset diplomatik.

“Itu menyalahi Konvensi Wina untuk pelindungan terhadap aset diplomatik yang tidak boleh disita begitu saja dengan alasan apa pun,” kata Yusril dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis 20 Maret 2025.

Pemerintah Prancis Puji Gerak Cepat Polri Tangkap Penjambret Warganya

“Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh pengadilan Prancis, pihak kita tetap akan melakukan upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi," tambahnya.

Persoalan ini bermula dari kontrak antara Kementerian Pertahanan RI dan Navayo International AG pada 2016 untuk pengadaan Satkomhan.

Kontrak tersebut menyebutkan bahwa setiap sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura. Ketika konflik muncul, Navayo menggugat pemerintah Indonesia dan memenangkan putusan arbitrase, yang mewajibkan RI membayar ganti rugi dalam jumlah besar.

Tak puas dengan arbitrase, Navayo melanjutkan upayanya ke pengadilan Prancis pada 2022 dan berhasil memperoleh izin untuk menyita aset pemerintah Indonesia di Paris, termasuk rumah tinggal pejabat diplomatik RI.

“Persoalan ini serius karena kita kalah di arbitrase negara lain, dan kita harus menghormati putusan pengadilan, walaupun kita tahu ada aspek-aspek yang bisa digunakan untuk menghambat pelaksanaan putusan ini,” kata Yusril.

Sebagai langkah lanjutan, pemerintah Indonesia akan menempuh jalur diplomasi untuk mencegah eksekusi tersebut. Yusril dijadwalkan bertolak ke Paris akhir Maret untuk menghadiri pertemuan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi (OECD) serta membahas masalah ini dengan Menteri Kehakiman Prancis.

“Masalah ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah Prancis karena bisa menjadi preseden global. Jika pengadilan negara tertentu bisa menyita aset diplomatik akibat sengketa dengan perusahaan swasta, maka negara lain bisa mengalami hal yang sama,” tegasnya.

Pemerintah juga akan meninjau kembali jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan. Menurut Yusril, keputusan arbitrase harus dipertimbangkan dengan cermat, terutama karena Navayo diduga melakukan wanprestasi.

“Menurut perhitungan BPKP, pekerjaan yang sudah dilakukan oleh pihak Navayo hanya senilai Rp 1,9 miliar, jauh di bawah nilai kontrak. Tapi ketika kita kalah di arbitrase Singapura, kita harus membayar dalam jumlah yang sangat besar,” ungkapnya.

Ilustrasi Gambar Hukum

Photo :
  • vstory

Di dalam negeri, Kejaksaan Agung telah menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek ini dan memanggil pihak Navayo untuk diperiksa. Namun, perusahaan tersebut berkali-kali mangkir dari panggilan hukum.

“Pihak Navayo sudah berapa kali dipanggil oleh Kejaksaan Agung, tapi tidak kunjung hadir,” ungkap Yusril.

Sebagai langkah tegas, pemerintah akan menetapkan pihak Navayo sebagai tersangka jika cukup bukti ditemukan dan meminta Interpol untuk mengejar serta membawa mereka ke Indonesia.

“Kalau memang ternyata di balik semua ini ada korupsi, kenapa pemerintah Indonesia harus membayar kompensasi begitu besar kepada pihak Navayo?” tegasnya.

Rapat koordinasi terkait kasus ini juga dihadiri oleh Wakil Menko Polhukam Lodewijk Freidrich Paulus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jamdatun) Narendra Jatna, dan Wamenko Kumham Imipas Otto Hasibuan.

Pemerintah kini berpacu dengan waktu untuk mencegah aset negara jatuh ke tangan pihak asing.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya