Protes Besar-Besaran di Auckland, Penduduk Asli Maori Tolak Isu LGBT di Tengah Rainbow Parade
- Anadolu Ajansi
Auckland, VIVA – Sekelompok penduduk asli Maori di Auckland, Selandia Baru, baru-baru ini menggelar demonstrasi besar-besaran untuk menyuarakan penolakan terhadap isu-isu LGBT pada Minggu, 16 Februari 2025.
Protes ini melibatkan puluhan anggota kelompok Man Up dan Legacy yang merupakan bagian dari Destiny Church. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mengatasi apa yang mereka anggap sebagai "pengeluaran berlebihan untuk pornografi dan penyimpangan seksual yang menyasar anak-anak Kiwi yang tidak bersalah."
Demonstrasi ini dilakukan di tengah perayaan Rainbow Parade Auckland, sebuah acara tahunan yang mendukung hak-hak LGBT. Ketika protes tersebut berlangsung, para pengunjuk rasa menerobos barikade polisi dan menampilkan tarian tradisional Maori yang disebut haka, dilansir dari Anadolu Ajansi.
Haka sendiri merupakan simbol kekuatan dan identitas budaya masyarakat Maori. Namun, meskipun protes ini cukup mengganggu jalannya parade, polisi segera membubarkan mereka tanpa melakukan penangkapan.
Tidak hanya itu, sebelumnya para pengunjuk rasa juga menyerbu sebuah pusat komunitas yang sedang mengadakan acara bertema "petualangan musikal dan ajaib yang menjelajahi sains di langit" yang diselenggarakan oleh Auckland Pride.
Acara ini terbuka untuk semua umur, namun pengunjuk rasa merasa bahwa acara tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka pegang. Mereka mengklaim bahwa sekitar 50 hingga 60 orang berhasil memaksa masuk ke fasilitas tersebut dan menyebabkan kerusuhan dengan beberapa di antaranya mendorong serta mengintimidasi staf dan warga setempat.
Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, memberikan tanggapan mengenai protes ini. Ia menegaskan bahwa kebebasan berbicara dan hak untuk melakukan protes damai adalah hal yang penting dalam negara demokrasi seperti Selandia Baru. Namun, ia juga mengingatkan bahwa protes yang dilakukan oleh Destiny Church sudah melampaui batas.
“Ini adalah negara yang luar biasa yang menghargai keberagaman,” kata Luxon.
Ia menegaskan bahwa meskipun mereka memiliki hak untuk mengungkapkan pendapat, cara protes yang dilakukan tidak mencerminkan toleransi dan rasa hormat terhadap orang lain.
Brian Tamaki, pemimpin Destiny Church, juga memberikan pernyataan keras mengenai protes ini. Dalam sebuah unggahan di media sosial, Tamaki mengatakan bahwa kaum muda dan pria dalam kelompok Man Up sudah sangat muak dengan situasi yang ada.
“Gereja Destiny sudah muak! Kaum muda radikal kita sudah muak! Man Up sudah muak!” ujarnya dengan tegas.
Tamaki menambahkan bahwa tindakan mereka adalah bentuk dari upaya untuk mengambil “tindakan damai” terhadap pemerintah yang menurut mereka gagal melindungi anak-anak Selandia Baru dari dampak negatif pornografi dan penyimpangan seksual yang dianggap mengarah pada pergeseran nilai moral.
“Kami terpaksa maju dan mengambil tindakan ini karena pemerintah gagal menangani masalah ini,” tambahnya.