Serangan Berkelanjutan Tiongkok terhadap Identitas dan Warisan Uighur
- Radio Free Asia
Xinjiang, VIVA – Dalam sebuah langkah terencana yang mengungkap operasi gencar pemerintah Tiongkok untuk menekan budaya dan warisan Uighur, pihak berwenang baru-baru ini menghancurkan Pusat Perdagangan Rebiya Kadeer di Urumqi, Xinjiang. Tindakan penghancuran arsitektur ini jauh lebih dari sekadar penghancuran bangunan; ini disinyalir adalah upaya yang disengaja untuk menghapus memori kewirausahaan, pencapaian intelektual, dan perlawanan Uighur.
Pusat perdagangan tersebut, kompleks tujuh lantai yang dibangun pada tahun 1990, dulunya merupakan pusat kehidupan ekonomi dan budaya Uighur yang dinamis. Dengan luas 30.000 meter persegi dan menampung lebih dari 600 toko, ruang konferensi, dan ruang pertemuan, bangunan tersebut berdiri sebagai bukti ketahanan dan kecakapan ekonomi Uighur. Bangunan itu lebih dari sekadar ruang komersial, tetapi juga merupakan simbol identitas Uighur, tempat para intelektual berkumpul, peneliti muda dilatih, dan pengusaha berkembang pesat.
Dinamakan Rebiya Kadeer, seorang pebisnis dan aktivis Uighur terkemuka yang kini tinggal di pengasingan di Amerika Serikat, karena mewakili harapan dan impian sebuah komunitas yang berjuang untuk melestarikan integritas budayanya. Kadeer sendiri bangkit dari kemiskinan hingga menjadi jutawan, membangun kerajaan bisnis multinasional yang menantang narasi marginalisasi yang dipaksakan oleh negara Tiongkok. Keberhasilannya merupakan teguran keras bagi mereka yang berusaha menekan potensi Uighur.
Dilansir Directus, Selasa 24 Desember 2024, pembongkaran yang dilakukan pada tanggal 29 November 2024 itu disinyalir merupakan operasi yang diatur dengan cermat dan diselimuti kerahasiaan. Pihak berwenang menerapkan langkah-langkah keamanan yang ketat, membatasi akses ke area tersebut dan mencegah siapa pun mendokumentasikan penghancuran tersebut. Pemilik toko setempat diperintahkan untuk menutup bisnis mereka, dan jalan-jalan di sekitarnya diawasi dengan ketat. Tingkat kontrol ini menunjukkan banyak hal tentang ketakutan pemerintah Tiongkok terhadap visibilitas dan ingatan kolektif Uighur.
Bagi para aktivis Uighur, penghancuran pusat perdagangan tersebut merupakan bagian dari kampanye sistematis penghapusan budaya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejak 2017, Tiongkok telah secara sistematis membongkar landmark budaya dan agama Uighur, menargetkan masjid, lingkungan tradisional, dan sekarang, ruang komersial yang ikonik. Amerika Serikat dan badan-badan internasional lainnya telah menetapkan tindakan-tindakan ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida – sebuah karakterisasi yang dibantah keras oleh pemerintah Tiongkok.
Sejarah bangunan ini mencerminkan lintasan perlawanan Uighur yang menyakitkan. Setelah Kadeer ditangkap pada tahun 1999 karena mencoba berbagi informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia dengan delegasi kongres AS, pusat perdagangan tersebut menjadi simbol ketahanan. Menyusul kerusuhan mematikan di Urumqi pada tahun 2009, otoritas Tiongkok menutup gedung tersebut secara permanen, menuduh Kadeer menghasut kekerasan – meskipun ia tidak hadir pada saat itu.
Tindakan penghancuran terbaru ini sangat menyakitkan bagi Kadeer, yang sekarang tinggal di pengasingan. Dia memandang pembongkaran itu sebagai serangan pribadi, sebuah langkah terencana untuk menghapus setiap jejak kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dan budaya Uighur. "Mereka ingin menghapus setiap kenangan tentang pekerjaan saya," katanya kepada wartawan, suaranya campuran antara penolakan dan kesedihan.
Pembenaran pemerintah Tiongkok terdengar hampa. Mereka mengklaim tindakan mereka diperlukan untuk memerangi terorisme dan ekstremisme, tetapi bukti menceritakan kisah yang berbeda. Penghancuran sistematis terhadap landmark budaya, penahanan massal orang Uighur di kamp-kamp interniran, dan penindasan praktik keagamaan dan budaya mengungkapkan agenda yang jauh lebih jahat - asimilasi dan penghapusan identitas Uighur secara menyeluruh.
Pembongkaran pusat perdagangan tersebut merupakan bagian dari pola penghancuran budaya yang lebih luas. Para peneliti telah mendokumentasikan penutupan atau perubahan ratusan masjid di seluruh Tiongkok, dengan perkiraan 65% masjid di Xinjiang hancur atau rusak sejak 2017. Setiap bangunan yang dihancurkan, setiap situs keagamaan yang diubah, merupakan pukulan lain bagi komunitas yang berjuang untuk mempertahankan integritas budayanya.
Bagi orang Uighur, ini bukan hanya tentang sebuah bangunan. Ini tentang upaya sistematis untuk menghapus sejarah, pencapaian, dan keberadaan mereka. Pusat perdagangan tersebut merupakan manifestasi fisik dari semangat kewirausahaan Uighur – sebuah ruang yang memelihara pertumbuhan ekonomi, wacana intelektual, dan kebanggaan budaya. Penghancurannya merupakan pengingat nyata dari genosida budaya yang sedang berlangsung yang dihadapi oleh komunitas Uighur.
Kecaman internasional telah cepat, tetapi sebagian besar tidak efektif. Meskipun ada sanksi, protes diplomatik, dan laporan hak asasi manusia, pemerintah Tiongkok melanjutkan kampanye penindasan budaya dengan impunitas yang nyata. Pembongkaran Pusat Perdagangan Rebiya Kadeer merupakan bukti mengerikan dari krisis hak asasi manusia yang sedang berlangsung di Xinjiang. Rebiya Kadeer sendiri tetap tidak menyerah.
"Mereka dapat merobohkan gedung-gedung," katanya, "tetapi mereka tidak dapat merobohkan semangat kami." Kata-katanya bergema dengan kebenaran yang kuat – bahwa budaya tidak dapat dihapus oleh buldoser dan keputusan birokrasi. Ketahanan masyarakat Uyghur melampaui beton dan baja, identitas mereka lebih kuat daripada upaya apa pun untuk menekannya.
Saat debu mulai mengendap di puing-puing pusat perdagangan, dunia tidak boleh berpaling. Ini bukan sekadar masalah lokal, tetapi masalah hak asasi manusia global yang menuntut perhatian segera dan berkelanjutan. Penghancuran sebuah bangunan lebih dari sekadar tindakan fisik – ini adalah serangan terhadap martabat manusia, terhadap hak suatu masyarakat untuk hidup, untuk mengingat, dan untuk berkembang.
Kisah Pusat Perdagangan Rebiya Kadeer masih jauh dari selesai. Kenangannya akan terus menantang narasi penindasan, sebuah mercusuar harapan bagi masyarakat yang berjuang untuk mempertahankan identitasnya dalam menghadapi penindasan sistematis.