Otoritas Palestina Tolak Keterlibatan UEA Pascaperang di Gaza

bendera Palestina
Sumber :
  • Brahim Guedich/Wikimedia

Gaza, VIVA – Otoritas Palestina (PA) menolak keterlibatan Uni Emirat Arab (UEA) dalam pemerintahan Gaza setelah perang Israel di wilayah itu berakhir. Hal itu disampaikan oleh seorang pejabat tinggi Palestina.

Israel Berlakukan Jam Malam dan Tutup Toko-toko di Kota Deir Istiya Tepi Barat

“Rencana Emirat (untuk terlibat) itu sampai kepada kami melalui saluran Amerika, dan kami menolaknya melalui saluran yang sama,” kata seorang pejabat tinggi Palestina yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Warga Palestina memeriksa bangunan tempat tinggal mereka yang hancur akibat serangan pesawat tempur Israel di Gaza City, Kamis, 4 Juli 2024.

Photo :
  • ANTARA/Xinhua/Mahmoud Zaki
Kondisi Gaza Makin Memprihatinkan, Gerakan Cinta dan Peluk Palestina Digaungkan

Hussein al-Sheikh, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyampaikan sikap PA secara langsung kepada Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Timur Dekat, Barbara Leaf, selama kunjungannya baru-baru ini ke Ramallah di Tepi Barat yang diduduki.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak pertemuan dengan Leaf setelah mengetahui bahwa dia tidak memiliki usulan baru.

Blak-blakan, Presiden Cile Sebut Netanyahu Penjahat Perang

“Kami memberi tahu AS bahwa alternatif dari rencana Emirat adalah penyatuan wilayah Palestina, Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem timur di bawah satu kedaulatan politik, geografis, dan hukum, dengan PLO sebagai satu-satunya perwakilan yang sah,” kata pejabat itu, dikutip dari The Cradle, Senin, 28 Oktober 2024.

“Pemerintah Palestina harus menjalankan kewenangan penuhnya atas Gaza sebagaimana yang dilakukannya di Tepi Barat, dan semua masalah yang berkaitan dengan Gaza pascaperang adalah murni masalah internal Palestina," tambahnya.

Sementara itu, proposal UEA menguraikan pengerahan pasukan keamanan Arab, termasuk personel militer kontrak, tanpa peran awal Palestina dalam keamanan Gaza.

Awal minggu ini, Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diperkirakan akan menyetujui rencana untuk mendirikan kamp konsentrasi di Gaza, yang dioperasikan oleh tentara bayaran dari sebuah firma keamanan swasta yang dijalankan oleh mantan pejabat intelijen AS dan Israel serta komandan pasukan khusus.

Menurut rencana tersebut, sebuah firma keamanan AS, GDC, akan membangun “gelembung kemanusiaan” di Gaza. Tentara Israel akan ditugaskan untuk membersihkan kelompok pejuang Hamas tersebut dan mendirikan tembok pemisah di sekitarnya dalam waktu 48 jam.

Selain itu, masuk ke kompleks ini akan dilarang kecuali bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut dan menyerahkan identifikasi biometrik.

Terkait rencana tersebut, jurnalis AS Dan Cohen melaporkan bahwa pemerintahan Biden telah menyetujui pengerahan 1.000 tentara bayaran swasta yang dilatih CIA sebagai bagian dari rencana gabungan AS-Israel untuk mengubah reruntuhan apokaliptik Gaza menjadi distopia berteknologi tinggi.

Pasukan Israel saat ini menggunakan kekerasan ekstrem untuk membersihkan Gaza utara secara etnis dan mencaploknya sebagai bagian dari apa yang disebut Rencana Jenderal. Dengan melakukan hal itu, politisi dari partai Likud yang berkuasa milik Benjamin Netanyahu ingin mempersiapkan jalan untuk membangun permukiman Yahudi di atas reruntuhan kota dan lingkungan Gaza utara yang tidak berpenghuni.

VIVA Militer: Pasukan Nukhba dari Brigade al-Qassam

Photo :
  • tv9bangla.com

Pejuang perlawanan dari Brigade Qassam Hamas dan faksi Palestina lainnya terus melawan pasukan Israel yang menyerang, mengepung, dan mengebom Gaza utara.

Pada saat yang sama, warga Palestina yang tidak punya pilihan selain meninggalkan rumah mereka berusaha melawan kampanye pembersihan etnis Israel dengan menolak menyeberangi Koridor Netzarim, yang dibangun tentara Israel untuk membagi Gaza menjadi dua bagian.

"Itulah sebabnya mereka tidak menyeberangi Koridor Netzarim ke Gaza selatan, tetapi malah bergerak ke barat Kota Gaza, yang masih berada di utara, dan mencari perlindungan di sana. Warga mengatakan mereka menolak menyeberangi koridor Netzarim karena takut tentara tidak akan mengizinkan mereka kembali," menurut laporan Haaretz.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya