Setahun Perang, Israel Akui Tanggung Beban Ekonomi Terberat Sepanjang Sejarah
- frontera25.net
Tel Aviv, VIVA - Sudah setahun lamanya serangan yang dilancarkan oleh Israel ke Palestina sejak 7 Oktober 2024. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich menyebut ekonomi Israel telah menanggung beban perang terpanjang dan termahal dalam sejarah negara.
Melansir CNN Business, Bezalel mengatakan meskipun ekonomi Israel berada di bawah tekanan, negara dijelaskannya tetap tangguh.
“Ekonomi Israel menanggung beban perang terpanjang dan termahal dalam sejarah negara ini,” kata Smotrich dikutip Selasa, 8 Oktober 2024.
Hampir setahun setelah serangan mematikan Hamas pada tanggal 7 Oktober, Israel terus melancarkan serangan di berbagai bidang yakni serangan darat terhadap Hizbullah di Lebanon serta serangan udara di Gaza dan Beirut
Seiring dengan meluasnya konflik ke wilayah lainnya, biaya ekonomi juga diperkirakan akan meningkat, baik bagi Israel maupun negara-negara lain di Timur Tengah.
“Jika eskalasi baru-baru ini berubah menjadi perang yang lebih lama dan lebih intens, hal ini akan membawa dampak yang lebih besar pada aktivitas ekonomi dan pertumbuhan (di Israel),” kata Karnit Flug, mantan gubernur bank sentral Israel.
Berdasarkan perkiraan terburuk dari Institut Studi Keamanan Nasional di Universitas Tel Aviv, ekonomi Israel akan menyusut bahkan lebih dari itu. Bahkan dalam skenario yang lebih jinak, Produk Domestik Bruto (PDB) yang beberapa tahun terakhir menyalip Inggris akan turun tahun ini. Hal ini karena populasi Israel tumbuh lebih cepat daripada ekonomi dan standar hidup yang menurun.
Sebelum serangan 7 Oktober dan perang Israel-Hamas, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan bahwa ekonomi Israel akan tumbuh sebesar 3,4 persen tahun ini. Kini, proyeksi para ekonom berkisar antara 1 persen hingga 1,9 persen. Pertumbuhan tahun depan juga diperkirakan akan lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.
Namun, bank sentral Israel tidak berada dalam posisi untuk memangkas suku bunga untuk menghidupkan kembali perekonomian karena inflasi meningkat, didorong oleh kenaikan upah dan melonjaknya pengeluaran pemerintah untuk mendanai perang.
Adapun Bank of Israel memperkirakan pada bulan Mei bahwa biaya yang timbul akibat perang akan mencapai 250 miliar shekel ($66 miliar) hingga akhir tahun depan, termasuk pengeluaran militer dan pengeluaran sipil, seperti untuk perumahan bagi ribuan warga Israel yang dipaksa meninggalkan rumah mereka di utara dan selatan. Jumlah tersebut setara dengan sekitar 12 persen dari PDB Israel.
Biaya tersebut diperkirakan juga akan terus meningkat seiring dengan semakin sengitnya pertempuran dengan Iran dan proksinya termasuk Hizbullah di Lebanon, yang menambah anggaran pertahanan pemerintah.
Menteri Keuangan, Smotrich sendiri meyakini bahwa ekonomi Israel akan bangkit kembali setelah perang berakhir. Namun, para ekonom khawatir kerusakan yang ditimbulkan akan jauh lebih lama dari konflik.
Flug, mantan gubernur Bank of Israel dan sekarang menjadi wakil presiden penelitian di Israel Democracy Institute, mengatakan bahwa ada risiko pemerintah Israel memangkas investasi untuk membebaskan sumber daya untuk pertahanan.
“Hal itu akan mengurangi potensi pertumbuhan (ekonomi) di masa mendatang,” ujarnya.
Para peneliti di Institute for National Security Studies juga memiliki pandangan yang sama. Bahkan penarikan diri dari Gaza dan ketenangan di perbatasan dengan Lebanon akan membuat ekonomi Israel berada dalam posisi yang lebih lemah daripada sebelum perang.
“Israel diperkirakan akan mengalami kerusakan ekonomi jangka panjang, apapun hasilnya,” tulis mereka.
“Penurunan yang diantisipasi dalam tingkat pertumbuhan di semua skenario dibandingkan dengan perkiraan ekonomi sebelum perang dan peningkatan pengeluaran pertahanan dapat memperburuk risiko resesi yang mengingatkan kita pada dekade yang hilang setelah Perang Yom Kippur.”
Di samping itu, konflik telah menyebabkan defisit anggaran Israel selisih antara pengeluaran dan pendapatan pemerintah, sebagian besar dari pajak meningkat dua kali lipat menjadi 8 persen dari PDB, dari 4 persen sebelum perang.
Pinjaman pemerintah telah melonjak dan menjadi lebih mahal, karena para investor menuntut imbal hasil yang lebih tinggi untuk membeli obligasi Israel dan aset-aset lainnya. Beberapa penurunan peringkat kredit Israel yang dilakukan oleh Fitch, Moody's dan S&P kemungkinan besar akan meningkatkan biaya pinjaman negara ini lebih jauh lagi
Sementara itu, Coface BDi sebuah perusahaan analisis bisnis utama di Israel, memperkirakan bahwa 60.000 perusahaan Israel akan tutup tahun ini, jumlah itu naik dari rata-rata tahunan sekitar 40.000 perusahaan. Sebagian besar di antaranya adalah perusahaan kecil, dengan jumlah karyawan hingga lima orang.
“Ketidakpastian hanya buruk bagi perekonomian, buruk bagi investasi,” kata Avi Hasson, CEO Startup Nation Central, sebuah lembaga nirlaba yang mempromosikan industri teknologi Israel secara global.
Adanya perang ini juga telah membuat sektor pariwisata Israel ikut terpukul, dengan jumlah kunjungan wisatawan yang turun tajam tahun ini. Kementerian Pariwisata Israel memperkirakan bahwa penurunan jumlah turis asing telah menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar 18,7 miliar shekel (4,9 miliar dolar AS) sejak dimulainya perang.
The Norman, sebuah hotel butik di Tel Aviv, harus memberhentikan beberapa staf dan memangkas harga hingga 25 persen, sebagian karena beberapa fasilitasnya termasuk restoran Jepang di puncak gedung tetap ditutup untuk menghemat biaya.
Menurut manajer umum hotel, Yaron Liberman, tingkat hunian telah turun dari di atas 80 persen sebelum perang menjadi di bawah 50 persen saat ini.
“Kami tahu bahwa ketika perang berakhir, bisnis di sini akan kembali bergairah,” katanya.