Kebimbangan Pangeran MBS soal Normalisasi Hubungan Arab Saudi-Israel
- Middle East Eye
Riyadh, VIVA – Setahun setelah mengumumkan bahwa hubungan diplomatik dengan Israel semakin dekat, pemimpin de facto Arab Saudi telah menutup pembicaraan tentang normalisasi karena perang Israel-Hamas yang diprediksi akan menyebar.
Nada lebih keras dari Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) muncul pada hari yang sama ketika walkie-talkie yang meledak menewaskan anggota gerakan Hizbullah Lebanon, yang kembali menimbulkan kekhawatiran akan perang yang lebih luas.
Kelompok Hizbullah itu menyalahkan Israel dan telah melakukan serangan lintas batas dengan pasukan Israel sejak Oktober untuk mendukung gerakan Palestina Hamas.
Saudi sebelumnya telah menjelaskan bahwa mereka menginginkan jalan menuju negara Palestina, tetapi Pangeran Mohammed menekankan kepada Dewan Syura penasehat bahwa negara Palestina yang merdeka adalah syarat untuk normalisasi.
"Kami menegaskan bahwa kerajaan tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tanpa kemerdekaan Palestina," katanya, dikutip dari The Sundaily, Senin, 23 September 2024.
Menurut penasihat pemerintah Saudi Ali Shihabi, posisi Saudi selalu jelas, meskipun beberapa pihak telah mengisyaratkan bahwa posisi tersebut fleksibel.
"Pangeran Mohammed ingin menghilangkan segala ambiguitas dengan komentar terbarunya," ucap Shihabi.
Pangeran MBS juga menepis pesan optimis dari Amerika Serikat, setelah Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan bulan ini bahwa normalisasi mungkin dilakukan sebelum Presiden Joe Biden lengser dari jabatannya pada bulan Januari.
Beberapa hari setelah perang di Gaza meletus pada tanggal 7 Oktober, ketika Hamas menyerang Israel, Arab Saudi menangguhkan pembicaraan dengan Amerika Serikat mengenai kesepakatan luas yang mencakup normalisasi dengan Israel dan paket keamanan untuk kerajaan tersebut.
Beberapa minggu sebelumnya, Pangeran Mohammed pun mengatakan bahwa setiap hari pihaknya semakin dekat dengan normalisasi.
"Bagi kami, masalah Palestina sangat penting. Kami perlu menyelesaikan bagian itu."
Hanya segelintir negara Arab yang mengakui Israel, termasuk tetangga Saudi dan sesama produsen minyak Uni Emirat Arab, menyusul Perjanjian Abraham yang ditengahi AS tahun 2020.
AS juga telah mendorong gagasan normalisasi hubungan Saudi-Israel, dengan harapan dapat memberikan insentif kepada Perdana Menteri sayap kanan Israel Benjamin Netanyahu, yang menolak negara Palestina untuk menghentikan perang dan mendapatkan sekutu Arab yang kuat.
Namun, setelah hampir setahun perang di Gaza, hubungan dengan Israel sama sekali tidak terpikirkan oleh masyarakat Saudi, kata para analis.
"Kekerasan perang dan kekejaman yang dilakukan terhadap Palestina telah membunuh kemungkinan bahwa normalisasi dapat diterima oleh opini publik di Arab Saudi," kata Rabha Saif Allam dari Pusat Studi Strategis Kairo.
Menurut Anna Jacobs dari lembaga pemikir International Crisis Group, "Israel telah melewati semua garis merah dan mencoba memulai perang multi-front, yang selanjutnya akan mengganggu stabilitas Timur Tengah".