Taktik Agresif Tiongkok di Perbatasan: Ancam Stabilitas Regional Demi Keuntungan Teritorial
- DigitalGlobe, Map Data, Google
Tiongkok, VIVA – Strategi teritorial Partai Komunis Tiongkok (PKT) memiliki implikasi signifikan bagi keamanan regional di Asia. Ketegasan Tiongkok baru-baru ini, mulai dari kehadiran militernya di Laut Cina Selatan hingga sengketa perbatasannya dengan India dan Bhutan, menyoroti pola yang meresahkan dalam melemahkan stabilitas regional. Retorika garis keras PKT dapat melayani agenda politik dalam negeri berisiko menimbulkan eskalasi yang berbahaya dan fatal dengan mengejar agenda ekspansionis yang mengabaikan geopolitik modern.
Seperti dilansir Daily Mirror, Rabu 18 September 2024, saat ini, Tiongkok terlibat dalam 17 sengketa teritorial dengan negara-negara tetangganya, dengan sedikitnya 7 sengketa terkait wilayah. Daftar panjang ini menunjukkan bahwa Beijing disinyalir sengaja menciptakan konflik untuk memanfaatkan negosiasi demi keuntungan teritorial.
Ambisi Tiongkok sering kali memicu konflik yang sudah berlangsung lama, sehingga menciptakan ketidakstabilan di kawasan yang sudah tegang. Pendekatan PKT yang ditandai dengan upaya merevisi batas wilayah secara sepihak, menimbulkan preseden konflik, bukan kerja sama. Dengan mengabaikan norma internasional dan memperluas klaim teritorialnya, Tiongkok mengasingkan negara-negara tetangganya dan meningkatkan ketegangan dengan negara-negara seperti Jepang, India, Vietnam, dan Filipina.
Sejarah Sengketa Sepihak
Sejarah PKT pasca-1949 ditandai oleh beberapa sengketa perbatasan yang kontroversial. Bentrokan perbatasan Tiongkok-Soviet tahun 1969, yang melibatkan pertempuran kecil di sepanjang Sungai Ussuri, menunjukkan kesiapan Partai Komunis untuk memprovokasi konflik dengan negara-negara tetangga yang memiliki ideologi yang sama seperti Rusia atas klaim teritorial. Demikian pula, sengketa Tiongkok dengan India atas wilayah Aksai Chin dan Arunachal Pradesh telah menumbuhkan warisan ketidakpercayaan dan konflik yang belum terselesaikan.
Negara-negara tetangga yang lebih kecil juga merasakan tekanan dari Tiongkok. Bhutan menghadapi sengketa wilayah yang terus berlanjut dengan Tiongkok, khususnya yang memengaruhi perbatasan utara dan baratnya. Nepal telah menyuarakan kekhawatiran atas campur tangan Tiongkok meskipun secara historis hubungan mereka bersahabat. Mongolia, yang selama beberapa dekade dipengaruhi oleh Tiongkok, telah menghadapi tekanan terkait kedaulatan dan sumber dayanya.
Di Asia Tenggara, klaim agresif Beijing atas Laut Cina Selatan meliputi wilayah yang diklaim oleh Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei, mencerminkan pola ekspansi hegemonik. Perubahan sepihak terhadap perjanjian yang ada ini melanggar kedaulatan negara-negara tetangga Cina.
Sengketa dengan Filipina, khususnya atas Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal, telah ditandai oleh taktik agresif, termasuk pelecehan terhadap kapal nelayan Filipina dan blokade rute pasokan ke BRP Sierra Madre, pos terdepan Angkatan Laut Filipina. Tindakan semacam itu, yang dibenarkan melalui interpretasi sejarah yang selektif, mengancam akan meningkatkan konflik regional dan merusak perdamaian di seluruh Asia.
Strategi PKT
Meninjau kembali keluhan historis untuk mengubah status quo hanya menghasilkan sedikit manfaat bagi Beijing, terutama mengingat penerimaannya terhadap perbatasan yang ada dengan Rusia. Penerimaan ini seharusnya membimbing Tiongkok untuk menghormati dan menegakkan batas-batas yang telah ditetapkan dengan negara-negara tetangganya.
Ketidakkonsistenan dalam argumen teritorial Beijing menunjukkan niat sebenarnya. Apakah kebijakannya dalam mengajukan sengketa batas sepihak benar-benar bertujuan untuk merebut kembali wilayah yang hilang, atau lebih berfokus pada upaya mengganggu perdamaian regional dan menantang tatanan internasional berbasis aturan untuk menegaskan hegemoni global? Tampaknya tujuan sebenarnya Tiongkok adalah untuk melemahkan kerangka kerja internasional saat ini.
Lintasan PKT saat ini merupakan resep untuk destabilisasi regional. Pergeseran ke arah dialog dan kerja sama, alih-alih paksaan dan konfrontasi, akan meningkatkan citra internasional Tiongkok dan mengamankan kepentingan jangka panjangnya di kawasan yang semakin berhati-hati. Namun, mengingat besarnya konflik yang telah ditimbulkan oleh Beijing, tampaknya tidak mungkin PKT akan mengambil pendekatan yang lebih matang. Kerusakan pada reputasinya sudah sangat besar.
Jika Tiongkok tidak mengkalibrasi ulang strategi teritorialnya, Tiongkok berisiko dianggap bukan sebagai pembela kedaulatan, melainkan sebagai kekuatan yang mengganggu stabilitas. Akibatnya, fokus Beijing yang terus-menerus untuk memicu konflik akan menjadi pertimbangan penting bagi semua negara tetangganya dalam hubungan bilateral di masa mendatang.