Gegara Gejolak Politik, Anak Putus Sekolah di Thailand Melonjak hingga 1 Juta Siswa
- AP Photo/Sakchai Lalit
Bangkok – Angka anak-anak yang putus sekolah di Thailand melonjak hingga 1 juta pada tahun 2023. Menurut para akademis, hal ini dikarenakan memburuknya masyarakat, gejolak politik, dan kemerosotan ekonomi, yang menyebabkan para orang tua mengeluarkan anak-anak mereka dari sistem pendidikan.
Sompong Jitradub, seorang akademisi pendidikan dan anggota dewan Equitable Education Fund (EEF), mengungkapkan bahwa situasi siswa yang putus sekolah atau meninggalkan sistem pendidikan tahun ini sangat parah.
"Data EEF menunjukkan pada tahun 2023, sekitar 1.025.514 siswa putus sekolah. Pada tahun-tahun sebelumnya, angka putus sekolah tahunan mencapai lebih dari 500.000 orang, yang berarti peningkatan dua kali lipat," kata Jitradub, dikutip dari The Sundaily, Rabu, 3 Juli 2024.
Sebagian besar angka putus sekolah terjadi pada masa transisi dari pendidikan rendah ke pendidikan menengah atas, namun terdapat juga peningkatan angka putus sekolah pada titik transisi lainnya, seperti dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah atau dari pendidikan menengah pertama ke pendidikan kejuruan.
Penyebab anak-anak putus sekolah tidak lagi semata-mata disebabkan oleh kemiskinan, seperti yang terjadi di masa lalu, menurut laporan tersebut.
Sebab, politik, ekonomi, dan pendidikan saling berhubungan. Iklim politik saat ini sedang suram sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam lapangan kerja dan investasi.
"Perekonomian juga berada dalam resesi dan menyebabkan kerusakan sosial, serta masalah pada sistem pendidikan juga berkontribusi terhadap peningkatan angka putus sekolah," katanya.
Terdapat upaya untuk mengatasi krisis ini, seperti kebijakan Thailand 0 Dropout, yang melibatkan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan dan 11 lembaga lainnya, dan kebijakan Bawa Anak Kembali ke Sekolah oleh Kantor Komisi Pendidikan Dasar.
Namun, permasalahannya jauh melampaui solusi yang ada dalam satu atau dua langkah.
"Terdapat kebutuhan mendesak untuk secara aktif mencari anak-anak yang putus sekolah dari sistem pendidikan. Diantaranya kunjungan rumah, pemberian kesejahteraan, pencarian beasiswa, dan penciptaan lapangan kerja bagi orang tua," sarannya.
Pandemi COVID-19 juga telah memperburuk situasi, menyebabkan hilangnya pekerjaan, hutang keluarga, dan peralihan ke pembelajaran daring yang menyebabkan kemunduran pembelajaran dan perilaku sosial negatif pada siswa.
"Permasalahan utama terletak pada struktur, sistem, dan penilaian kurikulum sehingga menyulitkan banyak anak untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan," tutup Jitradub