Cerita Warga Lebanon Nikmati Liburan di Pantai Sambil Lihat Ledakan Akibat Serangan Israel
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Beirut – Di bawah panas terik, dengan berita rutin tentang serangan udara Israel dan pesawat tempur di sekitarnya, Rajaa Jaafar, seorang warga Lebanon membuka kulkas mininya untuk membuka sekaleng bir sambil berjemur di pantai Tyre.
Sejauh ini langit masih cerah. Namun Jaafar dan temannya, Rasha Wehbe, menceritakan bahwa mereka mendengar ledakan yang berasal dari beberapa kilometer jauhnya.
Keduanya juga melihat asap membubung dari perbukitan yang memisahkan Lebanon selatan dari Israel. Tapi, mereka tetap tidak terpengaruh akan hal tersebut.
"Kami mengalami hal-hal ini di rumah kami,” kata Jaafar kepada Middle East Eye.
“Daripada merasa takut di rumah, kami malah lebih merasa takut saat di pantai," sambungnya.
Anda bisa melihat segala macam hal di pantai berpasir panjang di selatan Lebanon. Warga Lebanon dari semua latar belakang menghabiskan akhir pekan musim panas dengan berjemur di pantai, berenang, dan menari hampir di dekat perbatasan Israel, bahkan saat ancaman konflik lebih lanjut.
Sejak perang Israel di Gaza dimulai pada Oktober lalu, Hizbullah dan kelompok lain telah melancarkan serangan lintas batas terhadap Israel utara dari Lebanon.
Para pejabat Israel telah berulang kali mengatakan bahwa mereka siap menghadapi operasi intensif di Lebanon. Pesawat-pesawat tempur Israel juga telah menyerang jauh ke dalam wilayah Lebanon, dan menewaskan lebih dari 460 orang menurut penghitungan AFP. Setidaknya 90 warga sipil termasuk di antara korban tewas.
Dengan serangan yang menghantam kota-kota di wilayah selatan setiap hari, suara hentakan jet Israel yang menembus penghalang suara adalah hal biasa dalam kehidupan masyarakat Lebanon. Di pantai, warga Lebanon yang santai terlihat bersorak mengejek saat suara terdengar di atas kepala mereka.
Jaafar dan Wehbe berasal dari desa-desa di selatan. Bagi mereka, perjalanan ke pantai seperti tantangan, ketabahan, dan butuh dukungan, yang menunjukkan bahwa masyarakat wilayah selatan, sampai batas tertentu, masih mampu menjalani kehidupan secara normal.
Namun, mereka mengakui bahwa hal ini dibayangi oleh rasa bahaya.
Kota-kota dan desa-desa yang paling dekat dengan perbatasan telah dihancurkan. Lahan pertanian telah dibakar dan serangan telah menyebabkan lebih dari 94.000 orang mengungsi.
Desa tempat tinggal Jaafar tidak terletak di perbatasan, sehingga bukan merupakan salah satu desa yang terkena dampak paling parah. Namun, dengan serangan Israel yang semakin dalam, dan bahkan mengancam akan melakukan invasi darat, Jaafar menganggap kematiannya hanya sedang tertunda.
"Kami tidak tahu kapan sesuatu di dekat kami bisa meledak. Setiap hari kami meninggalkan rumah dengan kesadaran bahwa ada kemungkinan kami tidak akan kembali lagi," ucapnya.
Wehbe dan Jaafar bekerja untuk perusahaan statistik, melakukan perjalanan ke selatan untuk membantu Program Pangan Dunia (WFP) PBB dan inisiatif bantuan dan dukungan lainnya.
Mereka melihat secara langsung dampak konflik ini terhadap wilayah tersebut, seperti di Adloun, sebuah kota di utara Tyre, di mana seorang wanita lanjut usia baru-baru ini terbunuh dalam serangan udara.
“Saya berada tepat di sebelah rumah yang terkena serangan,” ungkap Jaafar, dikutip dari Middle East Eye, Kamis, 13 Juni 2024.
Di sepanjang salah satu bagian garis pantai Tyre terdapat "pantai tenda", di mana kabin yang menjual makanan dan minuman mengundang suasana yang lebih riuh.
Amir Jam, yang merupakan warga Lebanon juga memutuskan untuk membukanya tahun ini, dan mengatakan bisnisnya berjalan baik meskipun ada konflik.
“Syukurlah, tidak ada yang takut,” katanya.
“Saya suka pantainya, kami buka dan berjalan dengan baik.”
Di dekatnya terdapat kabin Abu Said, yang telah melayani pengunjung pantai selama 30 tahun. Pemilik toko berusia 70 tahun ini mengatakan bentrokan di perbatasan berdampak nyata terhadap jumlah pejalan kaki, namun ia belum terkena dampak signifikan. Abu Said memiliki pelanggan dari wilayah utara seperti Tripoli dan Jounieh, katanya.
“Orang-orang bahkan berdatangan dari daerah yang terkena dampak.”
Terletak di ujung jalan raya pesisir Lebanon, Tirus biasanya merupakan tempat yang mudah dijangkau. Namun tentara Israel mengganggu layanan GPS di wilayah tersebut, sehingga orang-orang yang mengandalkan aplikasi navigasi satelit kini sering diarahkan ke bandara Beirut dibandingkan kota di selatan.
"Orang-orang datang, mereka duduk dan menyaksikan serangan udara dari sini,” kata Abu Said.
“Mereka tidak melarikan diri.”
Setelah menginvasi Lebanon pada tahun 1982, Israel menduduki sebagian besar wilayah selatan. Lelah karena bertahun-tahun melawan serangan Hizbullah, pasukan Israel mundur pada tahun 2000.
Dibandingkan dengan tahun-tahun pendudukan, kata Abu Said, ancaman serangan Israel sangat kecil.
“Rakyat Lebanon telah berubah. Mereka tidak peduli. Anda menyerang, mereka akan melihatnya.”