Frustasi Angka Kelahiran Rendah, Presiden Korsel Bentuk Kementerian Baru
- Im Hun-jung/Yonhap via AP
Seoul – Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, pada Kamis, 9 Mei 2024, mengatakan bahwa ia berencana membentuk kementerian pemerintah baru untuk mengatasi darurat nasional karena tingkat kelahiran yang sangat rendah.
Dalam pidatonya yang disiarkan di televisi, Yoon Suk Yeol mengatakan ia akan meminta kerja sama parlemen untuk membentuk Kementerian Penanggulangan Angka Kelahiran Rendah.
“Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan bangsa untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran yang dapat dianggap sebagai darurat nasional,” kata Yoon, dikutip dari CNN Internasional, Sabtu, 11 Mei 2024.
Saat berbicara dalam konferensi pers pertamanya sejak Agustus 2022, Yoon mengakui pemerintahannya telah gagal dalam meningkatkan kehidupan masyarakat.
Ia juga berjanji akan menggunakan masa jabatannya selama tiga tahun ke depan untuk meningkatkan perekonomian dan mengatasi angka kelahiran yang rendah.
Seperti diketahui, Korea Selatan mempunyai tingkat kesuburan terendah di dunia. Angka ini hanya tercatat sebesar 0,72 pada tahun 2023 dan turun dari 0,78 pada tahun sebelumnya. Hal itu merupakan penurunan terbaru dalam serangkaian penurunan tahunan yang panjang.
Setiap negara memerlukan tingkat kesuburan sebesar 2,1 untuk mempertahankan populasi yang stabil, tanpa adanya imigrasi.
Data ini menggarisbawahi bom waktu demografis yang dihadapi Korea Selatan dan negara-negara Asia Timur lainnya karena masyarakat mereka mengalami penuaan yang cepat hanya dalam beberapa dekade setelah industrialisasi yang pesat.
Banyak negara Eropa juga menghadapi populasi menua, namun kecepatan dan dampak perubahan tersebut dapat dimitigasi oleh imigrasi.
Meski demikian, negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang dan Tiongkok menghindari imigrasi massal untuk mengatasi penurunan populasi usia kerja.
Para ahli mengatakan alasan terjadinya pergeseran demografi di kawasan ini adalah tuntutan budaya kerja, stagnasi upah, kenaikan biaya hidup, perubahan sikap terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta meningkatnya kekecewaan di kalangan generasi muda.
Namun, terlepas dari faktor ekonomi yang berperan, mengeluarkan uang untuk mengatasi masalah tersebut terbukti tidak efektif.
Pada tahun 2022, Yoon mengakui bahwa lebih dari US$ 200 miliar atau Rp 3,2 kuadriliun telah dihabiskan untuk mencoba meningkatkan populasi selama 16 tahun terakhir.
Inisiatif-inisiatif seperti memperpanjang cuti ayah yang dibayar, menawarkan “voucher bayi” berupa uang kepada orang tua baru, dan kampanye sosial yang mendorong laki-laki untuk berkontribusi dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, sejauh ini gagal membalikkan tren tersebut.
Para ahli dan warga malah menunjuk pada beberapa masalah sosial yang mengakar, misalnya stigma terhadap orang tua tunggal, diskriminasi terhadap kemitraan non-tradisional, dan hambatan bagi pasangan sesama jenis.
Pemerintah Jepang telah mencoba cara serupa untuk mendorong pasangan agar memiliki anak, namun tidak membuahkan hasil, sehingga mendorong pemimpin negara tersebut mengambil tindakan segera dalam beberapa tahun terakhir.
Pada Januari 2023, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memperingatkan bahwa Jepang tidak mampu mempertahankan fungsi sosial karena menurunnya angka kelahiran, dan mengumumkan rencana untuk membentuk lembaga pemerintah baru yang fokus pada masalah ini.
Badan tersebut, Badan Anak dan Keluarga, diluncurkan beberapa bulan kemudian, yang dimaksudkan untuk mengatasi sejumlah masalah, mulai dari meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak, hingga mendukung keluarga dan orang tua, menurut situs webnya.
Langkah-langkah ini, selain mulai dari meningkatkan layanan penitipan anak dan menyediakan tempat bagi anak-anak untuk bermain dan tinggal, hal ini juga bertujuan untuk mengatasi penurunan angka kelahiran dan menciptakan masyarakat, di mana orang-orang memiliki harapan untuk menikah, memiliki anak, dan membesarkan mereka.