Deretan Negara yang Dianggap Paling Siap Hadapi Perang Dunia 3
- Youtube
Jakarta – Konsep terjadinya Perang Dunia 3 sering kali muncul dalam konteks ketegangan geopolitik, rivalitas militer antara negara-negara besar, dan eskalasi konflik regional.
Contohnya termasuk invasi Rusia ke Ukraina, pertempuran antara Israel dan Palestina, serta ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Dengan melihat konflik-konflik terbaru, khususnya eskalasi konflik militer yang signifikan, ada kekhawatiran di masyarakat internasional bahwa Perang Dunia 3 bisa terjadi.
Lantas, negara mana saja yang siap menghadapi Perang Dunia 3? Berikut 5 negara yang paling siap dilansir berbagai sumber:
1. Rusia
Dilansir dari Anadolu, Kepala intelijen Estonia menyatakan bahwa Rusia sedang meningkatkan kesiapannya menghadapi potensi konflik militer dengan NATO dalam dekade mendatang. Mereka berencana untuk menggandakan jumlah pasukan yang ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan negara-negara Baltik dan Finlandia.
Meskipun saat ini Rusia tidak berencana untuk melakukan tindakan militer terhadap aliansi Barat dalam waktu dekat, hal ini sebagian disebabkan oleh kebutuhan Rusia untuk mempertahankan pasukan di Ukraina, ujar Direktur jenderal Badan Intelijen Luar Negeri Estonia, Kaupo Rosin. Menurutnya, Moskow meyakini bahwa konflik militer dengan NATO mungkin terjadi dalam 10 tahun mendatang.
2. Inggris
Menteri Pertahanan Inggris, Gant Shapps dikutip dari Sky News, memperingatkan jika dunia bisa dilanda perang, yang melibatkan beberapa negara dalam lima tahun ke depan. Shapps menambahkan, bahwa dunia sedang bergerak dari pascaperang ke sebelum perang.
Panglima Angkatan Darat (AD) Inggris, Jenderal Sir Patrick Sanders mengatakan, bahwa warga negaranya harus dilatih dan diperlengkapi untuk berperang, dalam potensi perang dengan Rusia, dan menggambarkan kehidupan saat ini sebagai generasi sebelum perang. Komentarnya memunculkan kekhawatiran tentang kewajiban militer.
Menurut mantan Komandan NATO Inggris, Jenderal Sir Richard Sherriff, sudah saatnya untuk mempertimbangkan hal ini. Sir Patrick juga menyatakan bahwa perang di Ukraina adalah momen penting, dan harus belajar dari kesalahan masa lalu, seperti yang terjadi pada Perang Dunia 1 pada 1914.
3. China
Menurut The Week, ancaman terbesar stabilitas geopolitik saat ini adalah ketegangan yang meningkat antara Cina dan AS, terutama terkait pulau Taiwan.
Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian integral dari wilayah Cina yang bersatu dan telah mengambil sikap agresif terhadap pulau tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, AS di bawah pemerintahan Biden telah meningkatkan dukungan terhadap kemerdekaan Taiwan.
Dalam menghadapi pemilihan kembali Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan, Partai Komunis Cina telah meningkatkan retorika dan tekanan terhadap pulau tersebut.
Meskipun eskalasi yang drastis tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, jika terjadi invasi, konflik tersebut akan memiliki dampak yang signifikan.
Selain korban jiwa, konflik antara dua negara ini akan mengganggu rantai pasokan global, menghilangkan kepercayaan diri, dan menurunkan harga aset. Konsekuensi ekonomi yang dahsyat dapat terjadi, bahkan hingga menyebabkan Depresi Besar kedua.
4. Korea Utara
Pemimpin Korut, Kim Jong Un, telah fokus pada modernisasi persenjataan nuklir dan rudalnya setelah gagalnya pembicaraan dengan AS pada tahun 2019.
Dalam pidato Tahun Baru, Kim mengkritik tindakan AS dan sekutunya yang telah mendorong semenanjung Korea ke ambang perang nuklir. Dia juga mengumumkan bahwa Korut telah meninggalkan tujuan damai dengan Korea Selatan (Korsel).
Para ahli percaya bahwa Kim telah membuat keputusan strategis untuk berperang, mengingat peningkatan perkembangan militernya. Kim juga telah mendekatkan diri dengan Rusia dan tetap berhubungan baik dengan China.
Hal ini meningkatkan ketegangan di semenanjung Korea dan meningkatkan risiko kesalahan perhitungan di mana salah satu pihak mungkin menyerang terlebih dahulu karena menganggap bahwa pihak lain akan menyerang.
5. Timur Tengah
Israel dan Iran telah terlibat dalam perang bayangan selama beberapa dekade, namun perang di Gaza mengganggu strategi mereka dan meningkatkan risiko konflik Israel-Iran.
Iran melakukan serangan terhadap kapal di Laut Merah sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk menentang Israel, mengakhiri perang di Gaza, dan menggantikan AS sebagai kekuatan utama di Timur Tengah.
Meskipun AS memiliki kekuatan besar di wilayah tersebut, sekutu dan proksi Iran tidak terpengaruh. Terdapat seruan untuk melakukan serangan langsung ke Iran setelah serangan pesawat tak berawak oleh kelompok proksi Iran di Yordania.
Konfrontasi antara AS dan Iran dapat memecah belah negara-negara Barat yang mendukung Washington dan memprioritaskan penjangkauan diplomatik baru dengan Teheran.
Hal ini akan berdampak pada perang Israel di Gaza, serangan Hizbullah ke Israel, stabilitas di Mesir, Yordania, dan Teluk, kekerasan di Irak dan Suriah, ambisi geopolitik anti-demokratis Cina, dan perang Ukraina yang didukung Rusia. Ada kekhawatiran bahwa Iran akan meningkatkan pertaruhan dengan AS melalui program nuklirnya.