Uskup Agung Kritik Definisi Ekstremisme Baru di Inggris Menyasar Komunitas Muslim
- AP Photo/Gregorio Borgia, File
London – Pemimpin gereja Anglikan di Inggris turut menyuarakan kritiknya terhadap rencana pemerintah untuk meluncurkan definisi baru mengenai ekstremisme. Pendeta tersebut memperingatkan bahwa tindakan itu akan berisiko menargetkan komunitas Muslim secara tidak proporsional.
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Selasa malam, 12 Maret 2024, Justin Welby, Uskup Agung Canterbury, dan Stephen Cottrell, Uskup Agung York, memperingatkan bahwa definisi baru tersebut mengancam kebebasan berpendapat, hak untuk beribadah dan melakukan protes damai, serta dapat menjelek-jelekkan orang.
“Yang terpenting, hal ini berisiko secara tidak proporsional menyasar komunitas Muslim, yang sudah mengalami peningkatan tingkat kebencian dan pelecehan,” kata para uskup agung, dua ulama paling senior di Gereja Inggris.
Hal ini juga menjadi peringatan akan perpecahan yang semakin meningkat antara komunitas di Inggris, di mana masyarakat Yahudi dan Muslim sama-sama menyatakan perasaan tidak aman, menurut para uskup agung.
Definisi tersebut merupakan bagian dari strategi kontra-ekstremisme baru, yang akan diluncurkan di parlemen pada hari Kamis oleh Sekretaris Komunitas, Michael Gove, berisiko memperburuk situasi.
“Alih-alih memberikan kejelasan atau memberikan nada perdamaian, kami pikir melabeli masalah multifaset sebagai ekstremisme yang penuh kebencian malah akan menjelek-jelekkan orang yang salah dan berisiko menimbulkan perpecahan yang lebih besar lagi,” kata para uskup agung, dikutip dari Middle East Eye, Kamis, 14 Maret 2024.
“Kami prihatin, seperti banyak pihak lainnya atas dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Kami ikut menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan kembali pendekatannya dan melakukan diskusi luas dengan semua pihak yang terkena dampaknya.”
Intervensi para uskup agung terjadi setelah trio kelompok kampanye terkemuka, Amnesty International, Liberty dan Friends of the Earth, pada Selasa pagi mengecam rincian strategi kontra-ekstremisme baru tersebut dan menganggapnya sangat tidak demokratis.
Laporan-laporan itu menunjukkan bahwa rancangan dokumen yang sebelumnya tidak dipublikasikan menunjukkan bahwa Dewan Muslim Inggris (MCB), organisasi perwakilan umat Islam terbesar di Inggris, dapat termasuk dalam definisi tersebut.
MCB menyebut rencana tersebut ofensif, menggelikan dan berbahaya.
Sebuah dokumen yang bocor, yang diduga merupakan rancangan pernyataan menteri memuat nama-nama sejumlah organisasi advokasi komunitas Muslim, namun tidak termasuk MCB.
Rancangan pernyataan tersebut menggambarkan kelompok itu memiliki “orientasi Islam” dan menjadi kekuatan pemecah belah dalam komunitas Muslim.
Dikatakan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan yang diperlukan terhadap kelompok yang dinilainya sebagai ekstremis berdasarkan definisi baru tersebut.
Gove dan Perdana Menteri Rishi Sunak sama-sama menyarankan bahwa langkah-langkah baru ini dapat ditargetkan terhadap aktivisme pro-Palestina dan kelompok-kelompok yang diduga pendukung ideologi Islam.
Namun, rencana mereka juga dikritik oleh tiga mantan menteri dalam negeri, Amber Rudd, Sajid Javid dan Priti Patel, yang memperingatkan pemerintah agar tidak bermain politik karena kekhawatiran tentang ekstremisme menjelang pemilihan umum yang akan berlangsung dalam beberapa bulan mendatang.
“Menjelang pemilihan umum, sangat penting untuk menjaga konsensus dan tidak ada partai politik yang menggunakan isu ini untuk mencari keuntungan taktis jangka pendek,” kata mereka dalam sebuah surat yang juga ditandatangani oleh mantan panglima militer, mantan presiden, kepala kepolisian kontraterorisme dan penasihat kohesi sosial Gove, Sara Khan.
Strategi kontra-ekstremisme Inggris saat ini, yang terakhir diperbarui pada tahun 2015, mendefinisikan ekstremisme sebagai oposisi vokal atau aktif terhadap nilai-nilai fundamental, termasuk demokrasi, supremasi hukum, kebebasan individu, dan rasa saling menghormati serta toleransi terhadap agama dan keyakinan yang berbeda.
Sementara itu, definisi baru mengenai ekstremisme dilaporkan yakni, promosi atau kemajuan ideologi berdasarkan kebencian, intoleransi atau kekerasan, atau meremehkan atau menjungkirbalikkan hak atau kebebasan orang lain, atau melemahkan demokrasi itu sendiri.
Namun, pemerintah menolak untuk mengkonfirmasi kata-kata tersebut, dan hanya mengatakan bahwa mereka akan segera memberikan rincian lebih lanjut.