Sosok Julia Sebutinde, Hakim Uganda yang Bela Israel Dalam Kasus Genosida di Mahkamah Internsional

Hakim Mahkamah Internasional Julia Sebutinde
Sumber :
  • The Uganda Wire

VIVA Dunia – Pengadilan tinggi PBB, Mahkamah Internasional (ICJ) pada hasil sidang pekan lalu telah memerintahkan Israel untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah kematian, kehancuran dan tindakan genosida dalam serangan militernya di Gaza, namun tidak memerintahkan adanya gencatan senjata.

Serangan Drone Israel Hantam Generator Listrik Lumpuhkan RS Kamal Adwan Gaza

Afrika Selatan menuduh bahwa kampanye Israel di Gaza sama dengan genosida dalam kasus tersebut dan telah meminta pengadilan untuk memerintahkan Israel menghentikan operasi tersebut.

Hakim Mahkamah Internasional Julia Sebutinde

Photo :
  • The Uganda Wire
7 Operasi Senyap Israel, Hancurkan Petinggi Hamas dan Sekutu

Dalam keputusan yang diambil oleh panel yang terdiri dari 17 hakim, Mahkamah Internasional memerintahkan enam tindakan sementara untuk melindungi warga Palestina di Gaza. Langkah-langkah tersebut disetujui oleh mayoritas hakim. Bahkan, seorang hakim Israel memberikan suara mendukung dua dari enam kasus tersebut.

Namun Hakim Uganda, Julia Sebutinde, adalah satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang ketiga hakim tersebut yang tentu mendapat kecaman dari dunia internasional.

Paus Fransiskus: Saya Memikirkan Gaza ... Betapa Kejamnya

Berikut sosok Julia Sebutinde:

Hakim Mahkamah Internasional Julia Sebutinde

Photo :
  • Al Jazeera

Lahir pada bulan Februari 1954, Sebutinde adalah seorang hakim Uganda yang menjalani masa jabatan keduanya di Mahkamah Internasional. Dia telah menjadi hakim di pengadilan tinggi tersebut sejak Maret 2021. Dia adalah wanita Afrika pertama yang duduk di kursi Mahkamah Internasional.

Menurut Institut Hukum Perempuan Afrika, Sebutinde berasal dari keluarga sederhana dan dia lahir pada masa ketika Uganda secara aktif memperjuangkan kemerdekaan dari Kolonial Inggris.

Sebutinde bersekolah di Sekolah Dasar Lake Victoria di Entebbe, Uganda. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, dia melanjutkan ke SMA Gayaza. Dia kemudian mengejar gelarnya di Universitas Makerere dan menerima gelar sarjana hukum pada tahun 1977, pada usia 23 tahun.

Kemudian, sebagai bagian dari pendidikannya pada tahun 1990, pada usia 36 tahun, ia pergi ke Skotlandia di mana ia memperoleh gelar master hukum dengan predikat istimewa dari Universitas Edinburgh. Pada tahun 2009, universitas yang sama memberinya gelar doktor hukum, sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam bidang hukum dan peradilan.

Sebelum terpilih menjadi anggota ICJ, Sebutinde adalah hakim Pengadilan Khusus Sierra Leone. Dia ditunjuk untuk posisi itu pada tahun 2007.

Sepanjang karir profesionalnya, Sebutinde memang tidak asing dengan kontroversi dan kecaman.

Pada bulan Februari 2011, Sebutinde adalah salah satu dari tiga hakim ketua dalam persidangan mantan Presiden Liberia Charles Taylor atas kejahatan perang yang dilakukan di Sierra Leone.

Pada tahun 2024, Sebutinde sekali lagi menjadi berita utama, kali ini karena menjadi satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang semua tindakan yang diminta oleh Afrika Selatan dalam kasus genosida terhadap Israel.

Dalam perbedaan pendapat, Sebutinde menyatakan sebagai berikut: “Menurut pendapat saya yang berbeda, perselisihan antara Negara Israel dan rakyat Palestina pada dasarnya dan secara historis adalah perselisihan politik.”

“Ini bukanlah suatu sengketa hukum yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum di Pengadilan,” imbuhnya.

Dia juga mengatakan bahwa Afrika Selatan tidak menunjukkan bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh Israel “dilakukan dengan tujuan genosida, dan sebagai hasilnya, tindakan tersebut dapat masuk dalam cakupan Konvensi Genosida”.

Para ahli berpendapat bahwa Sebutinde gagal melakukan penilaian menyeluruh terhadap situasi tersebut.

Mahkamah Internasional di Den Haag

Photo :
  • Anadolu Agency

“Menurut saya, yang salah dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa genosida bukanlah perselisihan politik, melainkan masalah hukum. Baik Afrika Selatan dan Israel menandatangani Konvensi Genosida pada tahun 1948 dan menerima yurisdiksi atas pelanggaran Konvensi Genosida dan kegagalan mencegah genosida,” Mark Kersten, asisten profesor di Universitas Fraser Valley yang berfokus pada hukum hak asasi manusia, melansir Al Jazeera.

“Anda tidak bisa begitu saja mengatakan ini adalah sesuatu untuk sejarah, ini adalah sesuatu untuk politik. Tentu saja sejarah dan politik berperan,” tambahnya.

Pendapat berbeda juga diungkapkan Duta Besar Uganda untuk PBB.

“Keputusan Hakim Sebutinde di Mahkamah Internasional tidak mewakili posisi Pemerintah Uganda terhadap situasi di Palestina,” katanya dalam sebuah pernyataan di X (sebelumnya Twitter).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya