Gelar Tur di Xinjiang, China Dinilai Ingin Hapus Jejak Pelanggaran HAM Terhadap Uighur

Muslim Uighur
Sumber :
  • Radio Free Asia

Jakarta – Pemerintah Tiongkok telah membuka pintu bagi wisatawan yang ingin mengunjungi atau berwisata ke daerah Xinjiang. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin mengklaim hampir 400 delegasi dan kelompok yang terdiri lebih dari 4.300 orang dari berbagai negara dan organisasi internasional, mengunjungi Daerah Otonomi Uighur di Xinjiang pada tahun 2023.

Namun, tidak seperti perjalanan di wilayah lain di Tiongkok, kunjungan hanya dilakukan berdasarkan undangan dan pengunjung dipandu dalam tur yang disponsori pemerintah.

Perempuan etnis minoritas Muslim Uighur menyambut para wsiatawan di gerbang Kota Tua Kashgar, wilayah selatan Daerah Otonomi Xinjiang, China.

Photo :
  • ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie

Wang menyebut masjid dan situs warisan tempo dulu di Xinjiang yang sangat tradisional, termasuk dalam destinasi yang dapat dinikmati oleh para pengunjung.

Loyalis Presiden Xi Jinping ini menyebut para wisatawan juga dapat pergi ke pabrik, bisnis, dan peternakan lokal untuk mempelajari produksi dan pengembangan Xinjiang, dan mengunjungi rumah orang-orang Uighur melihat kehidupan bahagia orang-orang dari berbagai kelompok etnis.

Sayangnya, pejabat atau otoritas Beijing dikabarkan hanya mengizinkan diplomat, jurnalis dan orang-orang yang dianggap sebagai 'sahabat Tiongkok'.

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai dibukanya daerah Xinjiang adalah upaya Beijing untuk menghilangkan noda pada citra Tiongkok yang telah di-cap sebagai pelanggar hak asasi manusia, khususnya kepada jutaan muslim Uighur.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan langkah ini dilakukan untuk menghadapi penilaian Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang akan mengunjungi China pada awal Tahun 2024 ini.

“23 Januari ini kan Dewan Hak Asasi Manusia PBB akan melakukan Tinjauan Berkala Universal atau UPR keempat di Tiongkok, karena China kan terdaftar sebagai anggota,” kata AB Solissa kepada wartawan, yang dikutip Selasa, 16 Januari 2024.

Meskipun demikian, lanjut AB Solissa, langkah China ini tidak akan dapat menutupi fakta perihal telah terjadinya pelanggaran HAM berat di Xinjiang, yang menimpa jutaan etnis minoritas di Xinjiang.

Raksasa Elektronik China Ini Ubah Cara Pelanggan Menikmati Dingin

Pihak berwenang telah mengontrol dengan ketat siapa saja yang memasuki Xinjiang, di mana penindasan keras terhadap warga Uighur dan Muslim lainnya dalam beberapa tahun terakhir, telah dianggap sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Amerika Serikat, PBB, parlemen negara-negara Barat lainnya, dan kelompok hak asasi manusia.

Pihak berwenang di Xinjiang telah menahan sekitar 1,8 juta warga Uighur dan Muslim Turki lainnya di kamp-kamp konsentrasi, menghancurkan ribuan masjid, dan melarang bahasa Uighur di sekolah dan kantor pemerintah.  

Tragis! Wanita Ini Meninggal Setelah Jalani 6 Operasi Plastik dalam Sehari

Kini Tiongkok berdalih kamp pendidikan tersebut telah ditutup dan menolak kebijakan apa pun untuk menghapus budaya Uighur.

“Melalui program perjalanan yang telah diatur, pemerintah Tiongkok menyebarkan narasi bahwa warga Uighur menjalani kehidupan yang bahagia untuk menutupi pelanggaran hak asasi manusia yang parah yang dilakukan Beijing di Xinjiang,” tutur AB Solissa.

Bursa Asia Fluktuatif saat Investor Tunggu Data Penting dari China dan Jepang Pekan Ini

VIVA Militer: Tindakan represif militer China terhadap etnis Muslim Uighur

Photo :
  • Amnesty International

Penyebaran propaganda dan upaya Tiongkok untuk meningkatkan citra Xinjiang, telah memicu kritik dari kelompok hak asasi manusia.

Staf hukum dan program di Human Rights Foundation, Claudia Bennett mengatakan kunjungan yang diatur tersebut, menyembunyikan kenyataan pahit dari pemisahan keluarga secara paksa, penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan orang di kamp konsentrasi atau kerja paksa, dan ribuan warga Uighur yang tinggal di pengasingan dan secara paksa kehilangan kewarganegaraan.

“Bannett menyebut dalam upaya strategis untuk melegitimasi penjajahannya di wilayah Uighur, Partai Komunis Tiongkok dengan hati-hati mengatur kunjungan propaganda bagi para diplomat, jurnalis, dan ulama,” Jelas AB Solissa.

Yayasan Hak Asasi Manusia Uighur, atau UHRP yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyebut kunjungan tersebut sebagai ‘pariwisata genosida’ dalam sebuah laporan yang dikeluarkan pada 30 Agustus 2023 lalu, dan mengatakan bahwa kunjungan tersebut membantu Tiongkok menyembunyikan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Xinjiang.

Sementara mantan direktur Human Rights Watch untuk Tiongkok, Sophie Richardson menuturkan jelang sesi UPR PBB, tidak ada keraguan bahwa Beijing menggembar-gemborkan ‘wisata settingan’ tersebut sebagai cara untuk melawan kritik terhadap kebijakannya di Xinjiang.

Namun, masalah utama UPR adalah tidak ada hukuman bagi mereka yang tidak mematuhi atau memperbaiki pelanggaran, tambah Richardson.

“Sudahlah Beijing, tipu muslihat yang kalian lakukan, tidak akan pernah memudarkan apalagi menghilangkan jejak berdarah peanggaran HAM berat di Xinjiang,” pungkas AB Solissa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya