Kunjungi Uighur, Pidato Xi Jinping Dikritik karena Dianggap Menindas Kaum Muslim
- japantimes.co.jp
Jakarta – Presiden China, Xi Jinping kembali mengadakan kunjungan ke Urumqi di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Tiongkok barat laut. Kunjungan itu terjadi di tengah pergunjingan masyarakat dunia terkait kehidupan jutaan etnis minoritas di sana.
Saat mengunjungi Xinjiang untuk kedua kalinya dalam waktu setahun, Xi Jinping menyebut upaya mempertahankan stabilitas sosial yang telah dicapai dengan susah payah. Namun, prioritas utama dan stabilitas tersebut harus digunakan untuk menjamin pembangunan.
Xi mengatakan perlunya menggabungkan perkembangan perjuangan anti terorisme dan anti separatisme dengan dorongan untuk menormalisasi upaya stabilitas sosial dan supremasi hukum.
Pemimpin Tiongkok ini juga meminta para pejabat terkait untuk lebih mempromosikan Sinisasi Islam, dan secara efektif mengendalikan berbagai kegiatan keagamaan ilegal.
Menanggapi pidato Xi Jinping, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai wajar jika banyak negara dan pemerhati HAM dunia, menganggap pernyaaan Xi tersebut sebagai ‘genderang perang’ kepada jutaan Muslim Uighur dan etnis minoritas di XinJiang.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Tiongkok telah melakukan berbagai pelanggaran berat HAM kepada warga Uighur sejak tahun 2017, seperti yang diberitakan media massa maupun laporan investigas penggiat HAM independen.
“Dari pemberitaam media massa dan media sosial serta laporan penggiat HAM internasional, sedikitnya 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Turki lainnya tengah ditahan dalam kamp konsentrasi oleh Beijing,” kata AB Solissa kepada wartawan, Senin, 11 September 2023.
China berdalih penahanan tersebut, lanjut AB Solissa, sebagai reaksi terhadap serangan teroris sporadis yang menurut warga Uighur dipicu oleh penindasan pemerintah selama bertahun-tahun.
Beijing juga berupaya menghancurkan situs keagamaan dan budaya serta memberantas bahasa Uighur dan budayanya.
Amerika Serikat dan badan legislatif di beberapa negara Barat telah menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Tiongkok merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Lucunya, meski sudah tidak lagi terhitung fakta dan bukti pelanggaran HAM di sejumlah media massa maupun media sosial, Tiongkok selalu membantah tuduhan tersebut, dan mengatakan bahwa kebijakannya di Xinjiang diperlukan untuk memerangi ekstremisme agama dan terorisme,” ujar AB Solissa.
Usai mendengar pidato Xi Jinping, masyarakat Uighur serta para pendukung mereka di dalam maupun luar China, langsung mengecam pernyataan Xi dan mengatakan bahwa pernyataan tersebut mengarah pada penindasan yang lebih besar.
Presiden Kongres Uighur Dunia, Dolkun Isa juga mengungkapkan pemerintah Tiongkok memang berniat melanjutkan genosida Uighur dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Turkestan Timur.
Mengingat bahwa Xi menyerukan propaganda yang lebih positif mengenai Xinjiang, Dolkun Isa memperingatkan komunitas internasional ‘jangan tertipu’ oleh gambar dan pesan palsu tersebut.
Senada dengan Dolkun Isa, Direktur Ekselutif Kampanye untuk Uighur, Rusha Abbas, mengatakan penggunaan frasa ‘Sinicisasi Islam’ oleh Xi berarti perang terhadap Islam, sedangkan tindakan kontra terorisme artinya China dapat bebas melakukan penahanan masal terhadap muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xin Jiang.
“Sekali lagi, sangat wajar jika banyak pihak yang melihat makna pidato Xi Jinping, sebagai cara untuk melegalkan Beijing untuk bertindak lebih ekstrim terhadap muslim Uighur dan etnis minoritas di sana,” pungkas AB Solissa.