Guru di Korsel Demo Besar Hingga Bunuh Diri dan Kerap Dapat Pelecehan Verbal Dari Para Orangtua
- News1
Seoul – Demo besar-besaran terjadi di Korea Selatan, setelah seorang guru Sekolah Dasar (SD), ditemukan tewas karena bunuh diri di ruang kelas.
Pada tanggal 5 Juni 2023, Lee Min-so menuliskan dalam buku hariannya mengenai ketakutan yang menguasai tubuhnya saat dia memasuki ruang kelas untuk mengajar.
"Dadaku terasa terlalu sesak. Aku merasa seperti akan jatuh di suatu tempat. Aku bahkan tidak merasakannya, dan tidak tahu di mana aku berada," tulis Min-so, dikutip dari BBC Internasional, Senin, 4 September 2023.
Kemudian, pada 3 Juli 2023, Min-so kembali menulis bahwa dia begitu terbebani oleh kegilaan pekerjaan sehingga dia ingin melepaskannya dengan cara yang berbeda.
Dua minggu berlalu, guru berusia 23 tahun itu ditemukan tewas di ruang kelasnya oleh rekan-rekannya. Dia diduga bunuh diri.
Tragedi ini lantas memicu gelombang kemarahan dari para guru sekolah dasar di seluruh Korea Selatan.
Puluhan ribu dari mereka melakukan mogok kerja pada hari Senin untuk menuntut perlindungan yang lebih baik di tempat kerja.
Mereka juga mengatakan bahwa mereka sering dilecehkan oleh para orang tua, dengan menelepon mereka sepanjang hari dan akhir pekan tanpa henti.
Sepupu Min-so, Park Du-yong, berjuang untuk tidak menangis saat dia membereskan apartemen sepupunya yang kosong, yang sekarang hanya menjadi rumah bagi ikan masnya.
Tempat tidurnya belum dirapikan, dan di sampingnya terdapat setumpuk gambar siswa kelas satu, yang menceritakan betapa dia mencintai mereka. Di bawahnya ada setumpuk buku perpustakaan tentang cara mengatasi depresi.
Park mengatakan sepupunya telah mengajar selama kurang lebih setahun, mewujudkan impian masa kecilnya dengan mengikuti ibunya dalam profesi tersebut.
"Dia memuji anak-anak itu," katanya.
Pada hari-hari setelah kematian sepupunya, yang dicap oleh polisi karena kisah asmaranya, Park justru mengambil peran sebagai detektif. Dia menemukan ratusan entri buku harian, catatan pekerjaan, dan pesan teks.
Mereka mengungkapkan bahwa beberapa bulan menjelang bunuh diri, Min-so telah dibombardir oleh keluhan dari orang tua para murid.
Baru-baru ini, salah satu muridnya telah melukai kepala anak lainnya dengan pensil, dan Min-so harus terlibat dalam panggilan telepon dan pesan panas dengan para orang tua.
Selama enam minggu terakhir, puluhan ribu guru berunjuk rasa di Seoul, mengklaim bahwa mereka sekarang sangat takut disebut sebagai pelaku kekerasan terhadap anak, sehingga mereka tidak dapat mendisiplinkan siswanya atau melakukan intervensi saat mereka saling menyerang.
Mereka juga menuduh orang tua mengeksploitasi undang-undang kesejahteraan anak, yang disahkan pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa guru yang dituduh melakukan pelecehan terhadap anak secara otomatis akan ditangguhkan.
Guru dapat dilaporkan melakukan kekerasan terhadap anak karena menahan anak yang melakukan kekerasan, sedangkan tindakan yang memarahi sering kali dicap sebagai pelecehan emosional.
Tuduhan seperti itu dapat membuat para guru segera dipecat dari pekerjaannya.
Seorang guru juga menerima keluhan setelah menolak permintaan orang tua untuk membangunkan anaknya dengan panggilan telepon setiap pagi.
Sementara itu, yang lainnya dilaporkan karena pelecehan emosional setelah mengambil stiker hadiah dari seorang murid laki-laki yang memukul teman sekelasnya dengan gunting.
Pada salah satu protes, guru berusia 28 tahun Kim Jin-seo mengatakan bahwa dia pernah memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan perlu tiga bulan cuti kerja.
Dalam satu kasus, dia meminta seorang murid yang mengganggu untuk meluangkan waktu lima menit untuk menenangkan pikiran mereka di toilet, sementara di kasus lain dia melaporkan seorang anak kepada orang tuanya karena berkelahi. Dalam kedua kasus tersebut, sekolah justru memaksanya untuk meminta maaf atas tindakan disiplinnya pada murid tersebut.
Kim mengatakan bahwa dia mencapai titik, di mana dia merasa tidak dapat mengajar kelasnya dengan aman.
"Kami, para guru, merasa sangat tidak berdaya. Mereka yang telah mengalami hal ini secara langsung telah berubah secara mendasar, dan mereka yang belum pernah mengalaminya, telah melihat hal ini terjadi."
Budaya mengeluh ini dipicu oleh masyarakat Korea Selatan yang sangat kompetitif, di mana hampir segalanya bergantung pada kesuksesan akademis.
Siswa bersaing ketat untuk mendapatkan nilai terbaik sejak usia sangat muda, hingga suatu hari nanti bisa masuk ke universitas terbaik.
Di luar sekolah, orang tua mengirim anak-anak mereka untuk belajar di sekolah ekstra kurikuler mahal yang disebut hagwons, yang beroperasi dari jam 5 pagi sampai jam 10 malam.
Jika dulu banyak keluarga di Korea yang memiliki lima atau enam anak, kini sebagian besar hanya memiliki satu anak, yang berarti mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk sukses.