Seorang Pria Dituntut 2 Tahun Penjara Karena Ejek Raja Thailand dengan Mainan Bebek Karet
- Nypost.com
VIVA Dunia – Seorang pria asal Thailand telah dituntut BUI selama dua tahun karena menjual kalender yang menampilkan komentar satir dan bebek karet di regalia kerajaan, yang menurut jaksa penuntut mencemarkan nama baik monarki Kerajaan dan Raja Thailand.
Pria itu bernama Narathorn Chotmankongsin dan berusia 26 tahun, dituntut hukum karena menghina raja Thailand. Dia termasuk di antara sekitar 200 orang yang telah ditangkap berdasarkan undang-undang Lese Majeste sejak tahun 2020 dalam apa yang dikatakan para kritikus sebagai tindakan keras terhadap kebebasan berbicara.
Melansir BBC UK, Kamis, 9 Maret 2023, bebek karet telah menjadi simbol pengunjuk rasa pro-demokrasi di Thailand. Banyak aktivis yang menggunakan simbol dalam demonstrasi di mana mereka menyerukan transisi demokrasi, sebuah gerakan yang juga mencakup tuntutan reformasi monarki.
Narathorn ditangkap pada Desember 2020 karena menjual kalender itu di halaman Facebook pro-demokrasi Ratasadon. Satire politik menampilkan ilustrasi bebek dalam regalia kerajaan, dan keterangan kontroversial.
Jaksa berpendapat bahwa gambar dan deskripsi itu mencemooh dan mencemarkan nama baik Raja Thailand Maha Vajiralongkorn. Pengadilan pada hari Selasa 7 Maret 2023 waktu setempat, menghukum Narathorn tiga tahun, sebelum meringankan hukumannya menjadi dua tahun.
Human Rights Watch (HRW) Asia mengatakan hukuman itu menunjukkan otoritas Thailand menghukum aktivitas apa pun yang mereka anggap menghina monarki. "Kasus ini mengirim pesan ke semua warga Thailand, dan ke seluruh dunia, bahwa Thailand bergerak lebih jauh dari, bukan lebih dekat, menjadi demokrasi yang menghargai hak," kata direktur HRW Asia, Elaine Pearson.
Kelompok HAM menuduh pemerintah Thailand mengeksploitasi undang-undang penghinaan kerajaan dalam beberapa tahun terakhir untuk menekan perbedaan pendapat politik.
Protes kaum muda yang pecah di Thailand pada Juli 2020, dan berlanjut hingga 2021, mengejutkan kaum royalis konservatif. Untuk pertama kalinya, para aktivis muda menuntut reformasi monarki yang kuat di negara itu, dan selama demonstrasi jalanan mereka secara terbuka mengejek anggota keluarga kerajaan.
Kritikus juga mengatakan ruang lingkup dari apa yang dianggap sebagai pelanggaran ternyata telah diperluas. Misalnya, pengunjuk rasa yang mengenakan atasan minim, mirip dengan yang kadang-kadang dikenakan oleh raja, dan pengunjuk rasa yang mengenakan gaun merah muda yang mirip dengan yang dikenakan Ratu Suthida, maka akan dituntut.
Kriminalisasi kartun yang menampilkan bebek kuning adalah lompatan lain dalam penggunaan hukum. Bebek tiup raksasa menjadi fitur protes tahun 2020 ketika mereka dibawa untuk menambah unsur kesenangan dan ejekan sebagai tanggapan atas taktik pengendalian kerusuhan yang digunakan oleh polisi.
Mereka pada saat itu tidak dianggap menyindir monarki, meskipun penuntut menuduh di persidangan bahwa cara bebek berpakaian dalam kalender terdakwa menunjukkan adanya hubungan dengan raja.
Thailand sering dikritik baik untuk interpretasi yang sangat luas yang memungkinkan hukum Lese Majeste, untuk kerahasiaan persidangan dan penolakan jaminan secara rutin, serta tingkat hukuman hampir 100 persen, dan beratnya hukuman.
Namun Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menolak kritik ini. Pemerintah masih bersikeras bahwa undang-undang itu diperlukan untuk membela monarki, yang keberadaannya secara resmi dianggap penting bagi identitas nasional Thailand.
Pihak berwenang Thailand juga semakin sering menggunakan undang-undang kejahatan cyber negara itu untuk menuntut mereka yang memposting komentar kritis di media sosial.