Soroti 'Diplomasi Perangkap Hutang' Cina, Centris: Gunakan Negara Berkembang Jadi Pion

Ilustrasi Cina saat kebijakan lokcdown.
Sumber :
  • Daily Sabah

VIVA Dunia - Sebagai salah satu negara kreditur bilateral terbesar di seluruh dunia, Cina dengan program Belt and Road-nya, mengalirkan uang Beijing ke negara-negara miskin dan berkembang. Awalnya sebagai pemanis untuk pembangunan infrastruktur tapi itu disorot sebagai diplomasi perangkap utang.

Lawatan Prabowo ke AS dan Cina Disambut Baik, Pengamat: Sinyal Penghormatan Terhadap RI

Demikian disampaikan Peneliti senior Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris), AB Solissa. Dia menyoroti seiring perjalanan waktu, hampir sebagian besar negara miskin atau berkembang yang berhutang ke Cina, mengalami kesulitan untuk melunasi hutang tersebut.

Menurut dia, kesulitan negara miskin atau berkembang tersebut bisa dilihat saat mereka coba merestrukturisasi hutang Cina. Upaya itu dilakukan agar jadi solusi jalan keluar saat ekonomi negaranya terpuruk di masa pandemi Covid-19.

Jaga Transparansi Kurator di Kasus Pailit Sritex, BNI Usul Bentuk Panitia Kreditor Sementara

Namun, cara yang ditempuh negara-negara miskin atau berkembang tersebut belum juga melepaskan mereka dari jeratan hutang Cina yang makin membebani keuangan negaranya.

Solissa bilang mestinya Beijing bisa mencontoh negara-negara kreditur lainnya seperti Amerika Serikat dan India. Dia menyebut dua negara itu berani menghapus sebagian hutang negara-negara yang meminjam dana kepada mereka.

Pakar Nilai Gaya Komunikasi Prabowo saat Lawatan ke Cina dan AS: Bangkitkan Rasa Kebanggaan

“Yang jadi pertanyaannya apakah Cina setuju menghapus sebagian pembayaran atau mengurangi hutang, seperti yang dilakukan negara kreditur lainnya seperti Amerika Serikat dan India?," kata Solissa, dalam keterangannya, Sabtu, 4 Maret 2023.

Dia mengkritisi mestinya Cina berani mencontoh AS dan India yang memberikan amnesty hutang kepada negara miskin atau berkembang. Bagi dia, hal itu baik secara moral maupun finansial.

Lebih lanjut, dia menyinggung saat pertemuan G20 di India yang agendanya pengampunan hutang saat bahaya fiskal bagi banyak negara miskin di dunia. Tapi, Cina tampak enggan berpartisipasi dalam gerakan moral tersebut.

Pun, Solissa menjelaskan dalam pertemuan tersebut, negara-negara dunia membahas data yang dikeluarkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva. Data itu menyangkut 60 persen negara berpenghasilan rendah atau sedang yang mengalami kesulitan membayar hutang kepada negara kreditur.

Lalu, menurutnya saat itu dibahas juga solusi terbaik membantu permasalahan hutang negara-negara miskin atau berkembang. Cara itu yakni semua kreditur pemerintah dan sektor swasta menyetujui pengurangan utang yang signifikan.  

“Setelah itu, organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia dapat turun tangan untuk memberikan pinjaman dan bantuan berbiaya rendah yang sangat dibutuhkan,” ujar Solissa.

Ilustrasi Pekerja China.

Photo :
  • www.technologyreview.com

Namun, ia menilai jika Cina menolak berpartisipasi dalam amnesty atau pengurangan hutang, Centris berpendapat sikap Beijing menunjukkan tak mau menerima tanggung jawab ekonomi dan moral sebagai pemimpin ekonomi global.

“Sejauh ini Cina hanya menawarkan untuk menangguhkan pembayaran hutang selama beberapa tahun saja dan sangat jelas hal ini tidak memadai. Padahal, Cina juga tak membutuhkan uang mengingat cadangan fiskal mereka lebih dari $3 triliun," jelas Solissa.

Solissa menambahkan, manuver Cina menggunakan negara-negara miskin atau berkembang sebagai pion dalam upaya untuk menambah pengaruh Beijing di dunia. Taktik itu menurutnya yang disebut para ktitikus sebagai ‘diplomasi perangkap utang’.

Tapi, kata dia, yang jadi problem dasar bisa mengajak Cina berpartisipasi dalam permasalahan global ekonomi dunia. Menurut dia, dengan mengajak ke meja perundingan saat waktu yang tepat. Nah, dari meja perundingan itu membahas penyelesaian hutang negara-negara miskin atau berkembang.

Meski demikian, ia menekankan hal kecil itu jadi sesuatu yang besar bagi Cina. Sebab, Beijing bersikukuh negara-negara miskin atau berlembang yang berhutang ke Cina mesti bayar penuh hutang berikut bunganya.

Dia menyebut negara-negara miskin atau berkembang di dunia sedikitnya menghadapi hutang sebesar US$ 35 miliar kepada negara kreditur sektor resmi dan swasta pada 2022. Tapi, lebih dari 40 persen total sudah jatuh tempo ke China.

”Dan, pertanyaannya siapa yang harus membayarnya? Arah-arahnya sih negara-negara miskin atau berkembang bakalan gagal berjemaah bayar hutang Cina," tutur Solissa.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya