Fakta Ekonomi Myanmar Setelah 2 Tahun Kudeta Militer Berjalan
- Antara/REUTERS/Stringer
VIVA Dunia – Perekonomian Myanmar diperkirakan akan tumbuh pada akhir tahun fiskal ini, namun masih tertinggal dari tingkat sebelum kudeta militer yang dimulai 1 Februari 2021 lalu.
Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia hari Senin, 30 Januari 2023, Myanmar diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 3% pada akhir September nanti.
Laporan berjudul “Monitor Ekonomi Myanmar: Menavigasi Ketidakpastian,” menyatakan bahwa ada risiko yang lebih besar dibanding hal-hal positif terkait pemulihan ekonomi Myanmar. Hal ini mencakup “memburuknya konflik menjelang pemilu yang dijadwalkan.”
Myanmar diselimuti krisis sejak kudeta militer dua tahun lalu yang menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, dan menempatkan sejumlah pemimpin militer sebagai penanggung jawab negara.
Pengambilalihan itu ditentang luas oleh warga Myanmar lewat berbagai aksi unjuk rasa. Namun junta militer mengambil tindakan keras terhadap kelompok oposisi, termasuk para politisi, aktivis dan media. Hal ini mengobarkan gerakan perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai “Pasukan Pertahanan Rakyat.” Konflik di negara itu kini menyerupai perang saudara.
Laporan Bank Dunia memperhitungkan seberapa rentannya ekonomi Myanmar dalam enam bulan terakhir ini karena terus berlangsungnya konflik. Hal ini mengganggu perekonomian dan menimbulkan dampak buru pada kehidupan dan penghidupan. Biaya konstruksi, kekurangan suplai listrik dan peraturan militer juga menimbulkan dampak pada kegiatan ekonomi.
Dunia bisnis mengalami kerentanan nilai tukar sebagai kesulitan ekonomi utama, sementara kelangkaan mata uang asing saat ini dan terus berlangsungnya kesulitan perdagangan menjadi hambatan lain.
Kudeta militer di Myanmar telah memicu pengenaan sanksi-sanksi dari negara-negara Barat, sementara investor asing enggan berbisnis di negara itu karena berbagai aksi demonstrasi dan meludes.
Hal tersebut membuat pasar domestik tidak memberikan keuntungan bagi bisnis. Terus berlanjutnya ketidakstabilan, ditambah gaya memerintah junta militer, juga berkontribusi pada prediksi ekonomi yang suram.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners yang berkantor di Thailand, sejak kudeta militer 1 Februari 2021 lalu hampir 3.000 orang meninggal di tangan junta militer.