Demo Tolak Lockdown Dinilai Berubah Jadi Tuntutan Demokrasi di China

Demonstran di Beijing, China menentang penguncian dan menuntut Presiden Xi Jinping mundur.
Sumber :
  • AP Photo/Ng Han Guan.

VIVA Dunia - Aksi unjuk rasa merebak di Beijing, Guangzhou dan beberapa kota lainnya di China. Mereka marah dengan kebijakan lockdown akibat COVID-19 yang kembali muncul di negara tersebut.

Partai Komunis China pun menyatakan akan menindak tegas semua kegiatan infiltrasi hingga sabotase oleh pasukan musuh.

Para demonstran di Beijing China membawa kertas putih memprotes pembatasan COVID-19.

Photo :
  • AP Photo/Ng Han Guan.

Tak Memandang Aksi Protest Masyarakat

Terkait hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai Partai Komunis China tidak terlalu memandang aksi protes masyarakat. Menurut Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, Xi Jinping sebagai petinggi Partai Komunis China belum secara langsung menangani kerusuhan yang menyebar ke sejumlah wilayah di Tiongkok.

“Kurang dari sebulan setelah memastikan masa depan politik dan dominasinya yang tak tertandingi, Xi Jinping mengisyaratkan bahwa saat ini dia lebih menyukai menjaga stabilitas rezim dalam menghadapi tantangan publik,” kata Solissa kepada wartawan, Jumat, 9 Desember 2022.

Berubah Jadi Penggulingan Partai dan Xi Jinping

Ia mengatakan ketidakpedulian Xi Jinping dan Partai Komunis China justru membangkitkan keberanian rakyat Tiongkok yang semula hanya protes kebijakan lockdown, berubah menjadi penggulingan Partai Komunis China dan Presiden Xi Jinping.

Tragis! Wanita Ini Meninggal Setelah Jalani 6 Operasi Plastik dalam Sehari

Mahasiswa di Hong Kong demo menentang kediktatoran rezim Xi Jinping di China

Photo :
  • AP Photo/Kanis Leung

“Awalnya, massa pengunjuk rasa di Shanghai hanya menyuarakan keinginannya agar pemerintah mencabut lockdown untuk Urumqi, cabut lockdown untuk Xinjiang, cabut lockdown untuk seluruh China,” kata Solissa.

Ridwan Kamil Blak-blakan Akui Jadikan Jokowi Teladan dan Contoh dalam Berdemokrasi

“Seiring perjalanan waktu, massa mulai berteriak gulingkan Partai Komunis China, dan gulingkan Xi Jinping, bebaskan Urumqi yang videonya banyak beredar di media sosial,” lanjutnya.

Rugikan Negara-negara Lain di Dunia

Todung Mulya Lubis Ingatkan Polri Jaga Netralitas di Pilkada 2024, Singgung Gaji Polisi dari Pajak Rakyat

Sementara itu, Duta Besar Amerika Serikat untuk China, Nicholas Burns, mengatakan pembatasan ketat yang dilakukan Beijing banyak merugikan negara-negara dunia, khususnya yang memiliki perwakilan di Tiongkok.

Salah satunya, kata dia, lockdown itu membuat diplomat Amerika Setikat tidak dapat bertemu dengan warga megaranya yang menjadi tahanan atau ditahan di China, seperti yang diamanatkan oleh perjanjian internasional.

Lockdown juga menyebabkan kurangnya rute penerbangan komersial ke dalam negeri, Kedutaan Besar Amerika Serikat harus menggunakan penerbangan charter bulanan, untuk memindahkan personelnya masuk atau keluar China.

"COVID dan lockdown benar-benar mendominasi setiap aspek kehidupan di China,” kata Nocholas Burns dalam diskusi online dengan Chicago Council on Global Affairs.

Burns mengatakan negaranya terus mengamati protes besar-besaran yang dilakukan rakyat China. Amerika Serikat meyakini bahwa rakyat China seharusnya memiliki hak untuk melakukan protes secara damai.

Ia juga merujuk kasus polisi China yang melecehkan dan menahan wartawan asing yang meliput protes, dan dengan lugas Duta Besar Amerika tersebut menyatakan mendukung kebebasan pers serta kebebasan berbicara.

"Mereka memiliki hak untuk membuat pandangan mereka diketahui. Mereka memiliki hak untuk didengar. Itu adalah hak fundamental di seluruh dunia. Seharusnya begitu. Dan hak itu tidak boleh dihalangi, dan tidak boleh diganggu,” kata Burns.

Demonstrasi Tidak Hanya di China

Unjuk rasa menentang kebijakan nol persen COVID-19 dengan me-lockdown total rakyat China juga terjadi di sejumlah negara dunia. Misalnya di Tokyo, sejumlah pengunjuk rasa turun ke jalan untuk mendukung demonstrasi yang dilakukan rakyat China.

“Ini membuktikan langkah Partai Komunis China khususnya Xi Jinping salah dan berdampak juga ke negara-negara dunia lainnya. Dari berita yang kami lihat, sebagian besar pengunjuk rasa di Tokyo juga menggunakan narasi Xi Jinping mundur dan hancurkan Partai Komunis China,” kata Solissa.

Aksi demonstrasi terjadi di Xinjiang pekan lalu setelah massa menolak kebijakan nol COVID-19 dengan lockdown ketat 100 hari. Mereka menilai aturan itu menghambat warga melarikan diri dari tragedi kebakaran di sebuah apartemen yang menewaskan 10 orang.

Kematian tersebut telah memicu kemarahan publik karena menduga penghuni gedung bertingkat tinggi tersebut tidak dapat melarikan diri tepat waktu karena sebagian gedung tersebut dikunci.

Meskipun demikian, para pejabat terkait di wilayah maupun di pusat, membantah fakta kematian 10 warga tersebut. Mereka juga menolak untuk memberikan pernyataan resmi ke publik.

Sebagian besar pengunjuk rasa memusatkan kemarahan mereka pada kebijakan "nol-COVID" yang telah membuat jutaan orang terkunci dan dikarantina, membatasi akses mereka ke makanan dan obat-obatan.

Ada juga yang menuntut kebebasan dan demokrasi yang lebih besar dan meminta Xi Jinping mundur.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya