Menlu Retno Marsudi Prediksi Masalah Geopolitik dan Ancaman Perang Nuklir Disinggung di KTT G20
- AP Photo/Vincent Thian
VIVA Dunia – Masalah geopolitik dan ancaman perang dunia ketiga beserta potensi penggunaan senjata nuklir sebagai dampak perang antara Rusia dengan Ukraina bisa jadi akan disinggung dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 15-16 November 2022 meski forum itu merupakan forum ekonomi, keuangan dan pembangunan.
"Tidak dapat dihindari luberan diskusi geopolitik masuk ke dalamnya. Enggak mungkinlah disekat, pakai sekat baja, enggak mungkin. Jadi, kita tidak akan kaget kalau isu mengenai masalah call (seruan) untuk tidak menggunakan senjata nuklir itu paling tidak akan diangkat oleh negara-negara di G20," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam wawancara eksklusif dengan VIVA pada program The Interview di Jakarta pada Selasa, 1 November 2022.
"Saya agak yakin, pasti akan ada negara yang mengangkat isu itu," ujarnya, menegaskan bahwa meski merupakan forum ekonomi, KTT G20 akan dimanfaatkan juga untuk membahas masalah gawat dunia saat ini akan ancaman perang besar.
Kalau memang masalah ancaman penggunaan senjata nuklir itu benar disinggung dalam KTT G20, Retno menegaskan, posisi dan sikap Indonesia sudah jelas, yaitu pemusnahan seluruh senjata nuklir di dunia.
Posisi Indonesia sebagai tuan rumah dan presidensi G20, menurutnya, memiliki keunggulan untuk mengatur alur diskusi sehingga dapat diarahkan pada pembahasan yang langsung pada pokok permasalahan. "Nanti kita lihat diskusinya akan seperti apa, tetapi national position kita jelas, seperti yang tadi saya sampaikan."
Paradigma win-win
Retno mengulangi usulannya tentang "paradigma win-win, bukan zero sum" berkaitan dengan perang antara Rusia dengan Ukraina sebagaimana dia sampaikan dalam pidato di sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas Besar PBB di New York, Amerik Serikat, pada September lalu.
Dia menekankan, paradigma win-win, atau kedua pihak bertikai sama-sama menang, harus dikedepankan dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Jika sebaliknya, yakni paradigma zero sum yang diutamakan--satu pihak diuntungkan atas kekalahan pihak lain, dunia benar-benar di ambang perang dunia ketiga.
Retno mengakui, memang tidak mudah untuk mengimplementasikan paradigma win-win, apalagi terhadap mereka yang bertikai dan telah sekian lama bertempur saling menghancurkan. Tetapi, dia mengingatkan, paradigma itu, bagaimananpun sulitnya, tetap harus terus menerus diserukan.
"PBB didirikan untuk apa. Bukannya PBB waktu itu didirikan untuk agar kita bisa keluar dari [situasi] zero sum hasil Perang Dunia Kedua; harus ada negara yang terus dan berani, harus ada negara yang terus dan berani mengingatkan kenapa PBB lahir," ujarnya.