Hari Pahlawan, Yuk Kenalan Dengan 5 Pria Pemberani Perwakilan Indonesia di Delegasi PBB 1947
VIVA Dunia –Tiap tahunnya, pada 10 November, Indonesia akan memperingati hari Pahlawan. Ada begitu banyak pahlawan pemberani yang merelakan waktu dan ilmunya untuk kemerdekaan Indonesia, termasuk 5 pria gagah yang menjadi wakil Indonesia di Delegasi Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947.
Hal ini diawali dengan perseteruan antara Belanda dan Indonesia yang berkepanjangan, sehingga PBB harus turun tangan. Organisasi yang baru berdiri selama dua tahun tersebut harus menghadapi pertikaian antara dua negara yang terjadi akibat pelanggaran Perjanjian Linggarjati.
Konflik itu disebabkan oleh Belanda, yang melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.
Keputusan Belanda melakukan agresi militer setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia kemudian mendapat kecaman dari dunia internasional, bahkan Australia yang "mengadu" kepada PBB dan menentang keras Belanda.
Sidang Dewan Keamananan PBB pun dilakukan dengan agenda pembahasan sengketa antara Indonesia dengan Belanda, yang dilaksanakan pada 14 Agustus 1947 di Lake Success, New York, Amerika Serikat.
Kelima pria pemberani yang membela Indonesia di mata dunia pada saat itu, adalah Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo dan Charles Tambu.
Haji Agus Salim
Tokoh pertama adalah Haji Agus Salim. Pria kelahiran 8 Oktober 1884 ini mengabdikan dirinya dalam usaha diplomasi untuk kemerdekaan Indonesia. Ia menguasai 7 bahasa, yang mengantarkan Agus Salim menjadi diplomat ulung Indonesia.
Setelah kemerdekaan, Agus Salim menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. Dia pun mengunjungi negara-negara Timur Tengah untuk mencari dukungan yang mau mengakui kemerdekaan Indonesia, salah satunya Mesir.
Agus Salim berhasil mendapatkan pengakuan Mesir atas kemerdekaan Indonesia melalui perjanjian persahabatan yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim dengan Perdana Menteri Nokrashi Pasha.
Setelah melakukan diplomasi dengan negara-negara Arab, Agus Salim diutus dalam Sidang Dewan Keamanan PBB 1947 dan berhasil membentuk jejaring dukungan dari para peserta PBB.
Sutan Sjahrir
Tokoh kedua yang menjadi perwakilan Indonesia dalam Sidang Dewan Keamanan PBB 1947 adalah Sutan Sjahrir. Ia lah yang berbicara dan berpidato saat delegasi diselenggarakan.
Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909 ini menjadi pembicara di depan Dewan Keamanan PBB. Di atas podium, Sjahrir menjelaskan tentang perkembangan Indonesia saat itu hingga sejarah Nusantara, dari zaman Kerajaan Majapahit yang mempunyai hubungan dagang dengan Madagaskar di Afrika Timur.
Dalam pidatonya, Sjahrir menyangkal bahwa Indonesia telah melakukan hal ilegal dan justru Belanda melayangkan tuduhan tak terbukti pada Indonesia. Pernyataan Sjahrir ini pun mampu mengesankan Dewan Keamanan PBB, bahkan mendapat pujian dari media Amerika Serikat, salah satunya New York Herald Tribune; yang dikatakan menggemparkan PBB.
Soedjatmoko
Cendekiawan Indonesia Soedjatmoko turut menjadi bagian dalam delegasi Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan PBB 1947. Dia menjadi anggota delegasi Indonesia termuda dalam sidang tersebut. Meskipun tidak memiliki gelar akademik formal, pria kelahiran Sawahlunto, 10 Januari 1922 ini pernah menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang, dari 1980 hingga 1987.
Dia juga mendapatkan banyak gelar doktor dari berbagai universitas di dunia. Sebagai seorang pemikir, Soedjatmoko selalu memadukan banyak pengetahuan untuk kehidupan manusia. Melalui forum-forum di dalam dan luar negeri, Soedjatmoko mengeluarkan pemikiran-pemikirannya mengenai permaslahan ekonomi, politik, hingga kebudayaan.
Soemitro Djojohadikusumo
Soemitro Djojohadikusumo adalah seorang tokoh besar ekonomi Indonesia. Soemitro mengenyam pendidikannya di Belanda. Sekembalinya ke Indonesia pada awal 1947, Soemitro diangkat menjadi staf Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Dalam Sidang Dewan Keamanan PBB 1947, Soemitro mengusulkan untuk membentuk komisi pengawas perdamaian antara Indonesia dan Belanda. Dia juga menuntut Dewan Keamanan PBB untuk menarik tentara Belanda dari Indonesia.
Selain upaya diplomasi, pria kelahiran 29 Mei 1917 ini meninggalkan banyak warisan berupa jejak pemikiran bagi bangsa Indonesia. Salah satu pemikirannya yang paling terkenal adalah Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Sistem ini membantu usaha-usaha kecil bermodal lemah dengan sistem kredit pinjaman modal.
Kini legacy-nya menurun kepada anaknya, yang juga berperan sebagai nasionalis, yaitu Prabowo Subianto.
Charles Tambu
Charles Tambu adalah seorang lelaki berdarah Tamil dari orang tua yang merupakan imigran dari Sri Lanka. Akan tetapi ia sangat bersimpati kepada Indonesia dan membantu Indonesua mendapatkan kemerdekaan “Charles Tambu: Turunan asing tapi djiwanja Indonesia”, tertulis di Madjalah Merdeka Oktober tahun 1949.
Awalnya Tambu "diletakkan" di Indonesia oleh Belanda untuk memantau radio berbahasa Inggris.
Ia menjadi salah satu perwakilan Indonesia yang ikut hadir di delegasi PBB 1947. Presiden Soekarno bahkan langsung menerbitkan paspor Indonesia untuk Charles Tambu, seorang anak imigran yang berasal dari Sri Lanka, yang pernah diejek oleh Belanda sebagai "seorang tambi jang lari dari Singapura, kemudian bercollaborasi dengan Djepang, lalu mendjadi kaki tangan Republik Sukarno-Hatta...”
Selepas pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Tambu ditunjuk oleh Presiden Sukarno menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila hingga tahun 1953.